“Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bila berada di antara mereka sendiri”. Perkataan itu merupakan ucapan dari Tuan Asisten Residen, Herbert de la Croix, dalam sebuah surat yang ditujukan putrinya, Miriam de la Croix, kepada Minke. Bagi Tuan Assisten Residen, pujian itu pantas dipersembahkan kepadanya. Minke, seorang terpelajar berdarah Jawa, yang belajar di sekolah Belanda (H.B.S) mampu menterjemahkan pidato berbahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa. Begitu pun sebaliknya. Pidato yang disampaikan oleh Tuan Assisten Residen itu diterjemahkan dalam rangka pesta pengangkatan bupati B yang adalah ayahnya sendiri.
Itulah sepotong kisah sastra yang dipersembahkan Pramoedya Ananta Toer untuk dunia ini di dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia. Jelas ini bukanlah buku yang baru terbit. Buku ini sudah lama ada. Jauh sebelum saya lahir yaitu tahun 1980. Memang saya bukan ingin memperkenalkan buku itu. Apalagi cerita di dalamnya. Tapi saya ingin mengungkapkan bahwa karya sastrawan yang meninggal sekitar enam tahun yang lalu itu sangat diminati oleh mahasiswa Korea.
Mahasiswa Korea versus Indonesia
Saya pun turut heran membaca sebuah berita yang diturunkan oleh media cetak nasional pada 24 Januari 2012 yang lalu. Kita bisa menyaksikan begitu semaraknya karya seni orang Korea yang banyak digemari pemuda-pemudi Indonesia sekarang ini. Baik itu lagu-lagunya, penyanyinya, maupun film-filmnya yang bahkan sangat laris di pasaran Indonesia. Ada satu hal yang mengejutkan mata dan hati saya. Yaitu sangat besar minat mahasiswa Korea Selatan untuk mempelajari kebudayaan Indonesia. Dan tidak hanya itu saja, tapi juga sampai mengkaji dan meneliti karya-karya sastra modern Indonesia. Wah!
Minat positif dan membangun para mahasiswa Korea itu sangat bertolak belakang dengan minat kaum muda Indonesia. Pemuda Indonesia tak mau ketinggalan lagu-lagu terbaru, penyanyi-penyanyi tampan dan cantik, dan film-film terbaru Korea. Tak tanggung-tanggung sampai meniru gaya orang Korea pun! Pakaiannya, rambutnya, sampai bahasanya. Semua ala Korea. Benar-benar sudah demam Korea. Sedangkan mahasiswa Korea malah berdecak kagum dan bergairah untuk segera mengetahui kebudayaan Indonesia. Kebudayaan kita yang dikenal majemuk dan harmonis. Dan dibingkaikan dalam kesatuan “Bhineka Tunggal Ika”. Sungguh terbalik!
Hingga sekarang banyak orang Indonesia yang menjadikan Korea sebagai destinasi wisatanya. Korea kini menjadi “sesuatu” yang dikagumi oleh orang Indonesia. Korea seolah menyimpan banyak hal yang dapat dinikmati dan dirasakan untuk menghibur kepuasan diri. Karya seni Korea telah berhasil membuat banyak orang Indonesia jatuh cinta. Sampai-sampai telah lupa pula untuk menilik sisi yang lain selain seninya.
Mengenal Pramoedya Ananta Toer
Indonesia adalah negara yang paling banyak menampung warga negara Korea dibandingkan negara lain. Besarnya hitungan itu berjumlah 45.000 orang. Bisa dikatakan salah satu tujuan mereka datang ke Indonesia untuk tugas belajar. Ilmu yang paling mereka minati di perguruan tinggi di Indonesia ini adalah sastra. Dan lagi, dari sastralah mereka mengenal kebudayaan Indonesia. Lebih dalam, karya sastra yang mereka kenal itu adalah karya sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Saya mengaku malu karena baru mengenal siapa Pramoedya Ananta Toer. Tapi saya juga kecewa karena selama dua belas tahun bersekolah di SD hingga SMA tidak pernah mengenal nama Pramoedya. Bertahun-tahun belajar Bahasa dan Sastra Indonesia hanya nama Chairil Anwar selalu muncul di buku-buku teks pelajaran. Memang nama itu telah melahirkan karya terbaik lewat puisi legendarisnya “Aku”. Namun di sekolah hanya nama Chairil yang paling menonjol. Sesekali juga nama Sanusi Pane, Mochtar Lubis, W.S. Rendra, Arjmin Pane, dan Sultan Takdir Alisjahbana. Hanya itu yang bisa saya ingat sampai sekarang.
Nah, ketika menjadi mahasiswa, baru di semester dua-lah saya mengenal nama Pramoedya Ananta Toer. Itu pun bukan karena saya mahasiswa sastra, melainkan karena saya agak ‘nakal’ mengintip dan mencari tahu buku-buku bacaan yang dikonsumsi oleh senior saya. Khususnya mereka yang mencintai karya sastra Indonesia dan mereka yang aktivis gerakan mahasiswa. Hanya oleh rasa penasaran, saya memberanikan diri mencari dan meminjam buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer.
Saya kira hanya saya saja yang tidak mengenal nama Pramoedya. Ternyata mahasiswa sebaya saya juga tidak mengenal siapa Pramoedya. Setiap saya membawa buku-buku Pramoedya sebagai bacaan di ruang kuliah, mereka malah bertanya: “Siapa Pramoedya Ananta Toer?” dan “Tentang apa bukunya?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu saya dapati hingga kini. Malangnya, di saat saya baru saja membaca karya Pramoedya, mahasiswa Korea telah duluan mencicipi buah sastra kita. Mereka telah banyak membaca karangan Pramoedya hingga ingin meneliti kebudayaan Indonesia yang terungkap secara jujur dalam buku-bukunya.
Harus saya akui, tulisan-tulisan Pramoedya memiliki nilai yang sangat tinggi. Lebih tinggi dari tetralogi milik Andrea Hirata maupun novel terlaris di dunia milik J.K. Rowling. Begitu membaca “Bumi Manusia”-nya, saya terhanyut didalamnya. Mata saya tak ingin berkedip membacanya dan pikiran saya tak henti mengembarakan imajinasi ceritanya. Penuturannya yang mengalir deras pada setiap konflik membuat saya harus kritis dan tersadar. “Dalam berjalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek!”.
Jiwa pun tertular oleh bahasa emosional yang disiratkannya itu. Apalagi otak pun terkontaminasi mengaminkan perkataannya yang benar dan masuk akal. Lantas imajinasi saya berkata: mengapa presiden tidak keluar istana untuk menerima tamu yang datang setiap Kamis berbusana dan berpayung hitam? Bukankah menerima tamu dan menjamunya sama dengan menerima dan menjamu kedatangan malaikat utusan Sang Pencipta? Tidak adakah kesempatan tamu itu bertemu presiden di istananya? Padahal sewaktu beliau belum menjadi orang nomor satu, ia bebas datang menjadi tamu rakyat di perkampungan sana. Ia berbaik hati, berdialog, bersilahturahmi dan tak lupa meminta dukungan dan doa agar menjadi pemimpin demokratis. Ah, tak mungkin beliau lupa itu!
Maafkan imajinasi saya yang banyak mengambil porsi dalam tulisan ini. Tapi begitulah tulisan Pramoedya setidaknya telah menyadarkan pembacanya tentang hal kemanusiaan yang bernuansa sosial-budaya. Pembaca akan dipengaruhi untuk kritis dan melawan. Melawan segala hal yang tidak etis menurut ilmu pengetahuan di bumi manusia ini.
Malu
Karena itu, malulah kita pada orang Korea, kaum terpelajarnya, yang sedang belajar dan meneliti kebudayaan kita (Indonesia). Malulah karena tidak-bahkan sedikit mengenal sastrawan Indonesia dan karya-karyanya. Malulah karena tidak menjadikan kegiatan membaca sebagai pengembaraan imajinasi dan pengetahuan, melainkan sebagai hiburan. Terakhir, malulah telah meniru hasil seni Korea. Irilah karena mereka “meniru” sastra Indonesia, namun kita meniru seni mereka. Padahal seni kita pun tak kalah mengagumkan. Masih ingat acara pembukaan Sea Games ke-XXVI yang lalu? Semarak kemewahan hasil seni Indonesia memperindah negeri Indonesia dan memesonakan setiap mata yang menyaksikannya.
Guru Bahasa dan Sastra Belanda Minke mengatakan dengan tegas, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tetapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai…”. Hewan tidak mengenal sastra. Ia tak tahu berimajinasi dan berkarya. Hanya manusia yang mampu melakukan itu.***
Rika~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar