Standar kemiskinan | Pendapatan per tahun berdasarkan jumlah tanggungan (yen) | ||||
1 org | 2 org | 3 org | 4 org | 5 org | |
Standar th2002 | 1.150.000 | 1.920.000 | 2.610.000 | 3.160.000 | 3.840.000 |
Standar th 97 | 1.060.000 | 1.820.000 | 2.500.000 | 3.030.000 | 3.660.000 |
Standar OECD th 2000 | 1.380.000 | 1.950.000 | 2.390.000 | 2.760.000 | 3.090.000 |
Secara umum, keluarga-keluarga di Jepang tak menampakkan gap, bahkan bagi orang asing seperti saya, masyarakat Jepang kelihatannya berada di garis keseimbangan, apalagi jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia yang gap secara ekonomi sangat lebar. Tapi tulisan ini menampakkan realita lain tentang masyarakat Jepang. Beberapa guru yang menghadiri seminar membenarkan kenyataan ini, dengan mengatakan banyak anak SMA yang berhenti sekolah di tempatnya mengajar dengan alasan orang tua yang tak mampu membiayai, dan dia terpaksa harus bekerja part time.
Tapi kalau kita amati betul sehari-hari anak-anak SMA yang bersekolah di daerah perkotaan dan pedesaan di Jepang, memang terlihat nyata perbedaannya. Saya sering menjumpai anak-anak dengan sepatu menganga, dan baju serta tas kumal ketika saya berangkat mengajar ke daerah Toyota atau Anjo, atau anak-anak yang terlihat kurang sehat dengan wajah yang kuyu dan tak segar di pagi hari. Penampilan anak-anak SMA di atas bukan karena mengikuti model, tapi terlihat jelas mereka berada dari keluarga yang kurang berkecukupan. Di lain pihak, anak-anak SMA yang bersekolah di sekolah swasta terlihat rapih dan tentu saja dengan segala pernak pernik bermerk-nya.
Toko 100 yen yang selalu diidentikkan dengan orang asing sekarang pun diserbu oleh orang Jepang yang tak sanggup dengan harga-harga yang melambung. Tapi tetap saja banyak orang Jepang yang membelanjakan uangnya di pertokoan elit Matsuzakaya, Maruei, Loft, atau pun Mitsukoshi. Anak-anak SMA dan orang-orang muda Jepang yang tetap ingin terlihat berkelas dengan barang bermerk menghabiskan hasil kerjanya selama sebulan dengan membeli barang-barang bermerk second hand.
Menjadi menarik untuk diamati di Jepang, karena pemerintah mengijinkan anak SMA berumur 16 tahun untuk bekerja paruh waktu. Tentu saja tempat bekerja untuk mereka terbatas, seperti toko kue atau restoran. Di pelosok kampung, anak-anak SMP malah sudah bekerja karena keterpaksaan. Tapi fenomena belakangan ini sungguh mengejutkan karena banyak anak-anak SMA yang memilih bekerja part time daripada terus belajar di SMA. Kelihatannya anak-anak seusia SMA setelah mereka merasakan bagaimana nikmatnya menerima gaji dan membelanjakannya untuk keperluan sehari-hari, dan membandingkannya dengan kehidupan ‘keras’ di sekolah yang memaksa otak mereka bekerja keras, berfikir dan mempersiapkan ujian masuk PT.
Karenanya, seorang ibu yang setia menghadiri seminar kami berharap agar bapak ibu guru berusaha memotivasi anak agar setidaknya dapat lulus dari SMA. Fakta ini memang sangat memprihatinkan bagi orang-orang tua di Jepang. Jika berketerusan, maka anak-anak SMA ini akan semakin menambah jumlah working poor di Jepang, orang-orang yang bekerja tapi berpenghasilan rendah. Sementara posisi kerja yang membutuhkan skill akan diisi oleh pendatang asing yang mulai berdatangan di Jepang atau juga mahasiswa-mahasiswa asing yang saat ini sedang bersekolah di Jepang, dan memiliki kecenderungan bekerja di Jepang dengan alasan gaji yang lebih tinggi daripada di negara asalnya.
Tetapi jika problem ini coba dipecahkan melalui penghapusan kebolehan bekerja bagi anak-anak SMA, maka dampak buruk lainnya akan muncul yaitu kriminal dan stress, dan tentu saja gap makin melebar. Orang muda yang bisa bersabar dengan penampilan sederhana dan tak mengikuti arus, kelihatannya barang langka di Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar