Boku No Hatsukoi Kimi Ni Sasagu (Prolog)
Sinopsis Boku no Hatsukoi Kimi ni Sasagu
(I Give My First Love to You)
Prolog
"Kisah cintaku punya batasan waktu." ujar Takuma. "Waktuku itu lebih pendek dibandingkan dengan orang lain. Jadi, aku tidak punya waktu untuk berlama-lama. Seperti kembang api di musim panas, yang bersinar hanya dalam sekejap waktu. Aku sudah tahu hal itu sejak berumur 8 tahun."
Takuma kecil di rawat di rumah sakit.
"Luar biasa." ujar Mayu kecil pelan. "Jantung Takuma berdetak dengan cepat."
"Dokter, aku tidak tahu penyakit apa yang kuderita." ujar Takuma kecil.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Mayu, berpura-pura menjadi dokter.
"Aku merasa tidak nyaman dan dadaku sakit." jawab Takuma.
"Aku harus mengobatimu." kata Mayu. "Buka celanamu."
"Apa?"
"Kau tidak perlu malu." ujar Mayu. "Aku dokter jadi kau tidak perlu malu."
Karena Takuma menolak, Mayu memaksa Takuma. Mereka berhenti berebut ketika kembang api meledak di atas langit.
"Itu kembang api!" seru Takuma.
Takuma dan Mayu pergi ke atap rumah sakit.
"Cantik sekali!" seru Mayu, melompat-lompat girang.
"Mayu, aku akan memanggil ayah dan ibu." kata Takuma seraya berlari pergi. Ia menuruni tangga ke bawah.
Dibawah, Takuma melihat ayah dan ibunya sedang bicara di sebuah ruangan bersama dokter. Dokter tersebut bernama Taneda Takahito, ayah dari Taneda Mayu.
Takuma membuka pintu hendak memanggil orang tuanya.
"Apa tidak ada kesempatan bagi Takuma untuk sembuh?" tanya Ayah Takume.
"Tentu saja kita tidak boleh menyerah." ujar Dokter. "Tapi tolong mengerti bahwa dengan teknologi saat ini, hal tersebut masih sulit. Walaupun perawatan memang masih sulit, tapi dengan makanan dan latihan fisik..."
"Jadi nyawanya bisa diperpanjang dengan cara itu?" tanya Ayah Takuma penuh harap.
Dokter diam.
"Jika kami mengatur makanan dan latihan fisiknya, berapa tahun yang ia miliki?" tanya Ayah Takuma lagi.
"Jangan tanyakan!" seru Ibu Takuma takut.
"Tidak." bantah Ayah Takuma. "Lebih baik kita tanyakan sekarang."
Dokter kelihatan ragu. "Jantung Takume tidak akan mengalami perubahan besar saat ia tumbuh. Tapi jika ia terus seperti ini, mungkin ia akan bertahan hidup sampai umur 20 tahun."
Ayah dan Ibu Takuma sangat terpukul mendengar semua itu.
Takuma berdiri diam di depan pintu. Ia menoleh dan melihat Mayu berdiri tidak jauh darinya. Mayu menangis.
"Kisah cintaku punya batasan waktu." ujar Takuma. "Tidak, biar kuperbaiki. Kisak cinta KAMI punya batasan waktu."
Para perawat mengikat seluruh tubuh Takuma agar ia tidak bisa bergerak.
"Ini mungkin kejam." kata Dokter. "Tapi jik aia bergerak dengan bebas, ada kemungkinan ia akan terluka."
"Kami mengerti." ujar Ayah Takuma.
Takuma berteriak dan menolak diperlakukan seperti itu, tapi Ibu Takuma menenangkannya. Orang tua Takuma sangat sedih, namun tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan untuk memperpanjang nyawa putranya kecuali dengan cara tersebut.
Takuma mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin pipis. Tapi ibunya menyuruh Takuma pipis di pampers.
Mayu menemui ayahnya dengan wajah cemberut, kesal karena ayahnya mengikat Takuma di ranjang.
"Aku sudah selesai pipis." kata Takuma. "Ibu bisa menggantinya sekarang.
"Bagus." ujar ibunya, tersenyum.
"Maafkan aku." ujar Takuma dengan mata berkaca-kaca, memalingkan wajahnya agar orang tuanya tidak bisa melihat ia menangis.
Ibu Takuma mengambil pengganti pampers. Tapi mendengar ucapan maaf Takuma, ibunya tidak bisa menahan air matanya.
"Biar aku yang melakukannya." kata Ayah Takuma cemas. Takut Takuma melihat tangisan ibunya. "Kau tunggulah diluar."
Ibu Takuma mengangguk dan keluar.
"Maafkan ayah, Takuma." ujar Ayah sedih. "Jika bisa, ayah ingin mengganti tempatmu dengan ayah. Tapi ayah tidak bisa melakukan apapun untuk membantu. Maafkan ayah."
Di luar, ibu Takuma menangis.
"Itsuka." panggil Dokter, menunjuk ke bagian belakang rok perawat. "Apakah itu olok-olok dari Mayu lagi?"
Perawat Itsuka melihat ke bagian belakang roknya. Rok itu sudah kotor. "Ah, dimana tadi aku duduk?" keluhnya. Ia berjalan mendekati dokter. "Apakah itu Takuma..."
"Ya." jawab Dokter sedih. "Jika aku tidak bisa membantunya, aku bukan lagi seorang dokter. Aku juga cemas pada putriku. Kita tidak bisa melakukan apa-apa saat ibunya meninggal dan kini temannya. Mungkin lebih baik aku tidak membawanya ke rumah sakit, bukan?"
"Mereka berdua bukan hanya sekedar teman." kata Perawat.
Dokter Taneda tertawa pahit. "Cinta pertama?"
Ketika Mayu sedang bermain di pinggur hutan, Takuma mendekatinya.
"Mayu, apa yang kau lakukan?" tanya Takuma.
"Aku ingin menemukan semanggi berdaun 4." jawab Mayu. "Dengan begitu, permohonan apapun yang kuminta akan terkabul."
"Aku tidak pernah mendengar itu." ujar Takuma.
"Aku pernah."
Takuma ikut membantu Mayu mencari semangggi. "Jika kau bisa menemukan semanggi berdaun 4, permohonan seperti apa yang akan kau minta?"
"Tidak ada yang istimewa." jawab Mayu,
"Kalau tidak ada yang istimewa, kenapa kau mencarinya?" tanya Takuma polos.
"Kau sangat menyebalkan." kata Mayu. "Aku hanya bosan karena tidak bisa bermain denganmu. Apa kau sudah berhenti memakai pampers?"
Takuma cemberut. "Jika kita bisa menemukan semanggi berdaun 4, bisakah aku membuat permintaan? Jika aku besar, aku ingin menjadi astronot. Jika itu terjadi, ayo kita menikah. Itu impianku. Aku ingin menjadi astronot dan menikah denganmu."
Mayu hanya diam, menatap Takuma.
Takuma menunduk. "Ah, aku menemukannya." katanya, menunjuk daun semanggi itu.
Mayu mendorong Takuma hingga jatuh dan berteriak pada daun semanggi. "Semanggi berdaun 4, tolong bantu Takuma!" serunya. "Jangan biarkan Takuma mati! Biarkan kami bersama selamanya! Tolong sembuhkan penyakitnya! Kumohon padamu! Kumohon padamu! Kumohon padamu!"
Mayu menangis keras.
"Mayu!" panggil Takuma. Ia mendekati Mayu dan mencium bibirnya.
"Saat itu, aku tidak tahu apa artinya kematian." ujar Takuma dewasa. "Karena itulah, aku membuat janji yang tidak bisa kupenuhi. Itu janji yang sangat buruk."
Mayu kecil memotong tirai jendelanya dan membuat gaun pengantin. "Takuma ingin menikah denganku." katanya senang pada ayahnya.
Di lain sisi, saat Takuma sedang duduk seorang diri di taman, sebuah bola menggelinding di kakinya.
"Bisakah kau melempar bola itu?" tanya seorang anak kecil.
Takuma menatap bola itu dengan senang dan ikut bermain. Itulah yang mengakibatkan kondisi Takuma menjadi kritis. Takuma tidak boleh melakukan olahraga berat.
"Aku membuat janji yang tidak bisa kupenuhi." ujar Takuma dewasa. "Ayo kita menikah saat kita sudah dewasa."
Takuma kecil di rawat di rumah sakit.
"Luar biasa." ujar Mayu kecil pelan. "Jantung Takuma berdetak dengan cepat."
"Dokter, aku tidak tahu penyakit apa yang kuderita." ujar Takuma kecil.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Mayu, berpura-pura menjadi dokter.
"Aku merasa tidak nyaman dan dadaku sakit." jawab Takuma.
"Aku harus mengobatimu." kata Mayu. "Buka celanamu."
"Apa?"
"Kau tidak perlu malu." ujar Mayu. "Aku dokter jadi kau tidak perlu malu."
Karena Takuma menolak, Mayu memaksa Takuma. Mereka berhenti berebut ketika kembang api meledak di atas langit.
"Itu kembang api!" seru Takuma.
Takuma dan Mayu pergi ke atap rumah sakit.
"Cantik sekali!" seru Mayu, melompat-lompat girang.
"Mayu, aku akan memanggil ayah dan ibu." kata Takuma seraya berlari pergi. Ia menuruni tangga ke bawah.
Dibawah, Takuma melihat ayah dan ibunya sedang bicara di sebuah ruangan bersama dokter. Dokter tersebut bernama Taneda Takahito, ayah dari Taneda Mayu.
Takuma membuka pintu hendak memanggil orang tuanya.
"Apa tidak ada kesempatan bagi Takuma untuk sembuh?" tanya Ayah Takume.
"Tentu saja kita tidak boleh menyerah." ujar Dokter. "Tapi tolong mengerti bahwa dengan teknologi saat ini, hal tersebut masih sulit. Walaupun perawatan memang masih sulit, tapi dengan makanan dan latihan fisik..."
"Jadi nyawanya bisa diperpanjang dengan cara itu?" tanya Ayah Takuma penuh harap.
Dokter diam.
"Jika kami mengatur makanan dan latihan fisiknya, berapa tahun yang ia miliki?" tanya Ayah Takuma lagi.
"Jangan tanyakan!" seru Ibu Takuma takut.
"Tidak." bantah Ayah Takuma. "Lebih baik kita tanyakan sekarang."
Dokter kelihatan ragu. "Jantung Takume tidak akan mengalami perubahan besar saat ia tumbuh. Tapi jika ia terus seperti ini, mungkin ia akan bertahan hidup sampai umur 20 tahun."
Ayah dan Ibu Takuma sangat terpukul mendengar semua itu.
Takuma berdiri diam di depan pintu. Ia menoleh dan melihat Mayu berdiri tidak jauh darinya. Mayu menangis.
"Kisah cintaku punya batasan waktu." ujar Takuma. "Tidak, biar kuperbaiki. Kisak cinta KAMI punya batasan waktu."
Para perawat mengikat seluruh tubuh Takuma agar ia tidak bisa bergerak.
"Ini mungkin kejam." kata Dokter. "Tapi jik aia bergerak dengan bebas, ada kemungkinan ia akan terluka."
"Kami mengerti." ujar Ayah Takuma.
Takuma berteriak dan menolak diperlakukan seperti itu, tapi Ibu Takuma menenangkannya. Orang tua Takuma sangat sedih, namun tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan untuk memperpanjang nyawa putranya kecuali dengan cara tersebut.
Takuma mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin pipis. Tapi ibunya menyuruh Takuma pipis di pampers.
Mayu menemui ayahnya dengan wajah cemberut, kesal karena ayahnya mengikat Takuma di ranjang.
"Aku sudah selesai pipis." kata Takuma. "Ibu bisa menggantinya sekarang.
"Bagus." ujar ibunya, tersenyum.
"Maafkan aku." ujar Takuma dengan mata berkaca-kaca, memalingkan wajahnya agar orang tuanya tidak bisa melihat ia menangis.
Ibu Takuma mengambil pengganti pampers. Tapi mendengar ucapan maaf Takuma, ibunya tidak bisa menahan air matanya.
"Biar aku yang melakukannya." kata Ayah Takuma cemas. Takut Takuma melihat tangisan ibunya. "Kau tunggulah diluar."
Ibu Takuma mengangguk dan keluar.
"Maafkan ayah, Takuma." ujar Ayah sedih. "Jika bisa, ayah ingin mengganti tempatmu dengan ayah. Tapi ayah tidak bisa melakukan apapun untuk membantu. Maafkan ayah."
Di luar, ibu Takuma menangis.
"Itsuka." panggil Dokter, menunjuk ke bagian belakang rok perawat. "Apakah itu olok-olok dari Mayu lagi?"
Perawat Itsuka melihat ke bagian belakang roknya. Rok itu sudah kotor. "Ah, dimana tadi aku duduk?" keluhnya. Ia berjalan mendekati dokter. "Apakah itu Takuma..."
"Ya." jawab Dokter sedih. "Jika aku tidak bisa membantunya, aku bukan lagi seorang dokter. Aku juga cemas pada putriku. Kita tidak bisa melakukan apa-apa saat ibunya meninggal dan kini temannya. Mungkin lebih baik aku tidak membawanya ke rumah sakit, bukan?"
"Mereka berdua bukan hanya sekedar teman." kata Perawat.
Dokter Taneda tertawa pahit. "Cinta pertama?"
Ketika Mayu sedang bermain di pinggur hutan, Takuma mendekatinya.
"Mayu, apa yang kau lakukan?" tanya Takuma.
"Aku ingin menemukan semanggi berdaun 4." jawab Mayu. "Dengan begitu, permohonan apapun yang kuminta akan terkabul."
"Aku tidak pernah mendengar itu." ujar Takuma.
"Aku pernah."
Takuma ikut membantu Mayu mencari semangggi. "Jika kau bisa menemukan semanggi berdaun 4, permohonan seperti apa yang akan kau minta?"
"Tidak ada yang istimewa." jawab Mayu,
"Kalau tidak ada yang istimewa, kenapa kau mencarinya?" tanya Takuma polos.
"Kau sangat menyebalkan." kata Mayu. "Aku hanya bosan karena tidak bisa bermain denganmu. Apa kau sudah berhenti memakai pampers?"
Takuma cemberut. "Jika kita bisa menemukan semanggi berdaun 4, bisakah aku membuat permintaan? Jika aku besar, aku ingin menjadi astronot. Jika itu terjadi, ayo kita menikah. Itu impianku. Aku ingin menjadi astronot dan menikah denganmu."
Mayu hanya diam, menatap Takuma.
Takuma menunduk. "Ah, aku menemukannya." katanya, menunjuk daun semanggi itu.
Mayu mendorong Takuma hingga jatuh dan berteriak pada daun semanggi. "Semanggi berdaun 4, tolong bantu Takuma!" serunya. "Jangan biarkan Takuma mati! Biarkan kami bersama selamanya! Tolong sembuhkan penyakitnya! Kumohon padamu! Kumohon padamu! Kumohon padamu!"
Mayu menangis keras.
"Mayu!" panggil Takuma. Ia mendekati Mayu dan mencium bibirnya.
"Saat itu, aku tidak tahu apa artinya kematian." ujar Takuma dewasa. "Karena itulah, aku membuat janji yang tidak bisa kupenuhi. Itu janji yang sangat buruk."
Mayu kecil memotong tirai jendelanya dan membuat gaun pengantin. "Takuma ingin menikah denganku." katanya senang pada ayahnya.
Di lain sisi, saat Takuma sedang duduk seorang diri di taman, sebuah bola menggelinding di kakinya.
"Bisakah kau melempar bola itu?" tanya seorang anak kecil.
Takuma menatap bola itu dengan senang dan ikut bermain. Itulah yang mengakibatkan kondisi Takuma menjadi kritis. Takuma tidak boleh melakukan olahraga berat.
"Aku membuat janji yang tidak bisa kupenuhi." ujar Takuma dewasa. "Ayo kita menikah saat kita sudah dewasa."
Boku No Hatsukoi Kimi Ni Sasagu (Part 1)
Sinopsis Boku no Hatsukoi Kimi ni Sasagu
(I Give My First Love to You)
Part 1
Beberapa tahun kemudian.
Takuma dewasa memeriksakan dirinya ke Dokter Taneda. Kata Dokter, kondisi Takuma baik. Tapi ia mengingatkan Takuma agar tidak berolahraga berat dan tidak memakan makanan yang terlalu manis atau asin.
"Aku tahu itu." ujar Takuma santai. "Sampai jumpa."
Dokter hanya tertawa melihat sikap Takuma itu.
Setelah dari rumah sakit, Takuma menemui Mayu. Mereka berdua bergandeng tangan dan berjalan bersama.
"Apa yang ayah katakan?" tanya Mayu.
"Dia bilang aku baik-baik saja." jawab Takuma.
Mayu dan Takuma bersekolah di sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama. Saat ini, mereka duduk di SMP kelas 3-2.
Saat guru bahasa Inggris sedang menjelaskan di depan, Mayu malah menggambar di bukunya.
"Siapa yang bisa menjelaskan arti dari kalimat ini?" tanya Guru. "Taneda Mayu, coba jelaskan."
Mayu bangkit dari duduknya dan membaca tulisan bahasa Inggris di papan tulis. tidak ada satu katapun yang ia mengerti.
"Takuma, bantu aku." bisik Mayu.
Takuma membacakan arti kalimat di papan tulis. Mayu mengatakannya lagi pada Guru.
Guru bahasa Inggris mengangguk. "Orang yang membantumu sangat luar biasa." katanya. "Bagus, Takuma."
"Terima kasih." jawab Takuma.
Saat pelajaran olahraga, Takuma hanya bisa duduk diam dipinggir lapangan, menonton teman-temannya berolahraga. Mayu bermain basket bersama teman-temannya. Ia sangat canggih melakukan olahraga itu.
Ketika Mayu dan kedua temannya berjalan seusai berolahraha, tiga orang murid laki-laki menyiram air pada Mayu.
"Maafkan kami." kata salah satu murid laki-laki. "Kami ingin membersihkan lapangan."
"Apa yang ingin kalian lakukan?!" seru Mayu kesal.
"Wah, merah jambu!" seru murid laki-laki lain, melihat baju dalam Mayu.
Mayu menunduk.
"Minta maaf!" seru teman-teman Mayu.
"Untuk apa? Kami tidak melakukan apapun." jawab murid laki-laki.
Mendadak Takuma datang. Ia menyelimuti badan Mayu dengan jas sekolahnya.
"Itu kecelakaan! Kecelakaan!" seru murid laki-laki.
Ketiga murid itu beranjak pergi, tapi Takuma mengejar dan menyerang mereka. Ia memukuli salah seorang dari mereka.
"Kalian pikir apa yang kalian lakukan?!" seru Takuma marah.
Kedua murid lain berusaha menarik Takuma, namun Takuma tidak menggubris dan terus memukuli murid itu.
Mayu berlari cemas. "Aku tidak apa-apa!" katanya, mendorong Takuma. "Aku tidak apa-apa!"
Takuma terus berusaha menyerang. Mayu terpaksa menamparnya.
"Tolong hentikan!" seru Mayu cemas.
Mayu membawa Takuma ke ruang kesehatan.
"Kenapa kau marah karena hal kecil seperti itu?" tanya Mayu. "Itu hanya olok-olok."
"Mereka melihat pakaian dalammu." kata Takuma, membelakangi Mayu. "Aku belum pernah melihatnya."
"Apa?"
"Bagaimana bisa mereka melihat pakaian dalam merah jambumu sebelum aku?" keluh Takuma.
"Bodoh!" seru Mayu, memukul kepala Takuma. "Kenapa kau membahayakan nyawanya hanya demi masalah sepele?"
"Itu tidak sepele!" seru Takuma, bangkit dari tidurnya. "Itu penting! Aku pacarmu! Tentu saja pacar harus melihatnya lebih dulu. Kita sudah berjanji ketika masih kecil."
Mayu diam sejenak, kemudian menutup tirai pembatas. "Baik, aku akan membiarkanmu melihatnya pertama kali."
"Apa?"
"Aku bisa menunjukkan padamu kapan saja." kata Mayu. "Tolong jangan lakukan tindakan gegabah seperti ini lagi."
Mayu melepas jas sekolah Takuma. Dari luar baju olahraganya yang basah, baju dalam merah jambunya terlihat. Ketika Mayu hendak membuka kaosnya, mendadak Takuma berteriak.
"Tunggu!" seru Takuma, memegangi dadanya. "Dadaku sakit."
Mayu memakai kembali jas sekolah Takuma. "Jika kau begitu antusias, aku tidak akan pernah menunjukkan padamu! Tidak akan pernah!"
Mayu hendak berjalan keluar dari ruang kesehatan, tapi Takuma mengejarnya.
"Tunggu!"
Mayu berlari, menghindari Takuma. Takuma mengejar Mayu. Yah, kejar-kejaran deh!"
Akhirnya Takuma berhasil menangkap Mayu dan memeluknya.
Mendadak terdengar suara murid lewat. Mayu dan Takuma menunduk, bersembunyi agar tidak terlihat.
Takuma meraih tangan Mayu, kemudian mencium bibirnya.
"Mayuku tersayang, aku menyadari sesuatu ketika aku dirawat di rumah sakit untuk ke tujuh kalinya." ujar Takuma. "Ada sesuatu yang kuinginkan. Jika aku bisa keluar dari rumah sakit, aku ingin menciummu. Menggenggam tanganmu. Memelukmu dengan erat, kemudian putus denganmu. Ketika kau bersamaku, kau selalu menangis. Ketika di pikiranku hanya ada Mayu, tapi bagi Mayu, di dalam pikirannya selalu ada penyakitku. Kau selalu cemas mengenai kapan aku mati. Agar kau tidak selalu menangis, kurasa seharusnya aku putus saja denganmu, saat aku masih hidup."
Ketika berciuman dengan Takuma, Mayu menangis. Takuma kemudian memeluknya erat.
Takuma mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa ia ingin bersekolah di SMA Shidou. Tapi orang tuanya menolak. Jika bersekolah disana, maka Takuma harus tinggal di asrama. Kedua orang tuanya tidak akan bisa menjaga Takuma.
"Aku ingin membuat kenangan indak sebelum aku mati." kata Takuma. "Aku ingin mencoba segalanya tanpa takut. Agar aku tidak menyesal."
Kedua orang tuanya diam sejenak.
"Apa karena Mayu?" tanya Ibu Takuma. "Kau melihat pilihan sekolah Mayu, bukan?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Mayu."
Ibu Takuma mendatangi Mayu dan memohon pada Mayu agar membujuk Takuma mengambil SMA lokal.
"Bibi, kurasa kau salah." kata Mayu, terlihat terkejut mendengar informasi itu. "Dengan nilaiku, mustahil bagiku diterima di SMA Shidou. Aku baru tahu kalau Takuma mendaftar di SMA Shidou."
Di sekolah.
"Takuma sudah mempersiapkan ujian masuknya." kata Mayu, menoleh ke arah Takuma yang sedang serius. "Kemana kau akan mendaftar?"
"SMA Shidou." jawab Takuma singkat.
"Wah!" seru Mayu keras, membuat semua murid menoleh. "Orang ini akan mendaftar di Shidou!"
"Diam!" seru Takuma.
"Aah, nilaiku tidak akan cukup." keluh Mayu. "Aku tidak ingin masuk SMA. Aku punya rencana lain. Rencana yang sudah kita buat saat masih kecil. Apa kau lupa?"
Takuma diam.
"Sepertinya kau lupa." gumam Mayu.
Takuma menunjukkan surat penerimaan SMA Shidou pada ibunya. "Dengan ini, aku bisa putus dengan Mayu secara wajar."
Hari kelulusan.
Takuma mencari-cari Mayu, namun tidak bisa menemukannya.
Mendadak, seseorang memukul kepalanya dengan keras. Mayu. "Siapa yang kau cari?" tanya Mayu.
"Aku tidak mencari siapa-siapa." jawab Takuma.
"Begitukah?!" seru Mayu, berjalan mendahului.
"Bagaimana hasil ujian masuk ke SMA pilihan keduamu?" tanya Takuma.
"Aku gagal." jawab Mayu. "Aku kagum pada diriku sendiri. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku sebodoh ini."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Mungkin aku akan mencari kerja." jawab Mayu acuh. Ia mengeluh. "Sepertinya aku hanya bisa berada di samping Takuma sampai SMP."
"Mayu..." panggil Takuma ragu. Walaupun berusaha, tapi Takuma tidak sanggup mengucapkan selamat tinggal pada Mayu.
Malam itu, Takuma duduk diam di kamarnya, memandang foto-fotonya bersama Mayu sejak kecil. Ia merasa bimbang dan frustasi.
Takuma masuk ke SMA Shidou. Saat Kepala Sekolah mengucapkan pidatonya, Takuma terlihat sangat bosan dan mengantuk.
Pidato akhirnya selesai.
"Selanjutnya." ujar pembawa acara. "Kata sambutan dari murid baru. Perwakilan murid baru adalah Taneda Mayu."
Takuma kaget dan menoleh.
Mayu berjalan dengan percaya diri ke depan untuk mengucapkan sambutannya.
Mayu berdiri di podium. Matanya jelalatan ke arah murid-murid, mencari Takuma.
"Takuma! Aku menemukanmu!" seru Mayu. "Kau terkejut? Kau ingin putus denganku? Terlalu cepat sejuta tahun! Aku belajar! Aku mencari guru private dan belajar dengan keras."
Para murid bingung mendengar celotehan Mayu.
"Terima kasih padamu aku mendapat nilai tertinggi di ujian masuk." kata Mayu. "Aku murid perwakilan dan kau hanya murid biasa. Takuma bodoh! Kau meremehkan aku! Terlalu cepat sejuta tahun!"
"Aku tidak meremehkanmu!" seru Takuma, bangkit dari duduknya.
"Takuma bodoh!" teriak Mayu. "Aku sama sekali tidak berniat masuk SMA! Aku ingin masuk organisasi!"
"Hentikan!" seru pihak SMA Shidou, menarik Mayu dari podium.
Mayu mendorong mereka dengan kasar hingga jatuh ke lantai. "Hari minggu aku ingin ikut kelas memasak dan belajar merangkai bunga. Dan bahasa Inggris. Aku ingin menikah. Hanya tinggal 2 tahun lagi. Aku senang menunggu Takuma berumur 18. Apa kau lupa? Janji masa kecil kita?"
Takuma diam.
"Jangan meremehkan aku." ujar Mayu. "Aku tidak akan pernah melupakan janji itu. Ingin mencampakkan aku? Terlalu cepat seratus juta tahun! Aku ingin menjadi pengantin paling cantik di dunia! Apa kau dengar?!"
Makin banyak orang yang naik ke podium untuk menarik Mayu turun, tapi Mayu mendorong mereka semua. "Lepaskan aku!" serunya, meronta. "Aku belum selesai!"
Takuma dan Mayu meneruskan berdebatan mereka di taman sekolah. Mereka jadi bahan tontonan murid-murid lain.
"Tentu saja aku tidak lupa!" seru Takuma. "Tapi, walaupun tidak lupa..."
"Kau melamar dan menciumku!" seru Mayu. "Dan kau masih bisa mengatakan itu?"
"Yang ingin kukatakan..."
"Apa?" potong Mayu.
"Dandananmu terlalu berlebihan!" kata Takuma, mengejek.
"Diam!" seru Mayu, membalas. "Apa yang salah dengan itu. Lihat rambutmu!"
"Mereka benar-benar akan menikah." celetuk salah seorang murid.
"Diam! Siapa yang bilang?"
"Memang!" kata Mayu. "Karena itu, tidak ada seorangpun yang bisa mengambil orang ini dariku."
"Diam." kata Takuma, berjalan pergi. "Kau bahkan tidak tahu apa yang dirasakan orang lain."
"Tunggu!" seru Mayu, mengejar Takuma.
Tanpa mereka ketahui, seorang murid laki-laki tersenyum menonton mereka.
Takuma dewasa memeriksakan dirinya ke Dokter Taneda. Kata Dokter, kondisi Takuma baik. Tapi ia mengingatkan Takuma agar tidak berolahraga berat dan tidak memakan makanan yang terlalu manis atau asin.
"Aku tahu itu." ujar Takuma santai. "Sampai jumpa."
Dokter hanya tertawa melihat sikap Takuma itu.
Setelah dari rumah sakit, Takuma menemui Mayu. Mereka berdua bergandeng tangan dan berjalan bersama.
"Apa yang ayah katakan?" tanya Mayu.
"Dia bilang aku baik-baik saja." jawab Takuma.
Mayu dan Takuma bersekolah di sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama. Saat ini, mereka duduk di SMP kelas 3-2.
Saat guru bahasa Inggris sedang menjelaskan di depan, Mayu malah menggambar di bukunya.
"Siapa yang bisa menjelaskan arti dari kalimat ini?" tanya Guru. "Taneda Mayu, coba jelaskan."
Mayu bangkit dari duduknya dan membaca tulisan bahasa Inggris di papan tulis. tidak ada satu katapun yang ia mengerti.
"Takuma, bantu aku." bisik Mayu.
Takuma membacakan arti kalimat di papan tulis. Mayu mengatakannya lagi pada Guru.
Guru bahasa Inggris mengangguk. "Orang yang membantumu sangat luar biasa." katanya. "Bagus, Takuma."
"Terima kasih." jawab Takuma.
Saat pelajaran olahraga, Takuma hanya bisa duduk diam dipinggir lapangan, menonton teman-temannya berolahraga. Mayu bermain basket bersama teman-temannya. Ia sangat canggih melakukan olahraga itu.
Ketika Mayu dan kedua temannya berjalan seusai berolahraha, tiga orang murid laki-laki menyiram air pada Mayu.
"Maafkan kami." kata salah satu murid laki-laki. "Kami ingin membersihkan lapangan."
"Apa yang ingin kalian lakukan?!" seru Mayu kesal.
"Wah, merah jambu!" seru murid laki-laki lain, melihat baju dalam Mayu.
Mayu menunduk.
"Minta maaf!" seru teman-teman Mayu.
"Untuk apa? Kami tidak melakukan apapun." jawab murid laki-laki.
Mendadak Takuma datang. Ia menyelimuti badan Mayu dengan jas sekolahnya.
"Itu kecelakaan! Kecelakaan!" seru murid laki-laki.
Ketiga murid itu beranjak pergi, tapi Takuma mengejar dan menyerang mereka. Ia memukuli salah seorang dari mereka.
"Kalian pikir apa yang kalian lakukan?!" seru Takuma marah.
Kedua murid lain berusaha menarik Takuma, namun Takuma tidak menggubris dan terus memukuli murid itu.
Mayu berlari cemas. "Aku tidak apa-apa!" katanya, mendorong Takuma. "Aku tidak apa-apa!"
Takuma terus berusaha menyerang. Mayu terpaksa menamparnya.
"Tolong hentikan!" seru Mayu cemas.
Mayu membawa Takuma ke ruang kesehatan.
"Kenapa kau marah karena hal kecil seperti itu?" tanya Mayu. "Itu hanya olok-olok."
"Mereka melihat pakaian dalammu." kata Takuma, membelakangi Mayu. "Aku belum pernah melihatnya."
"Apa?"
"Bagaimana bisa mereka melihat pakaian dalam merah jambumu sebelum aku?" keluh Takuma.
"Bodoh!" seru Mayu, memukul kepala Takuma. "Kenapa kau membahayakan nyawanya hanya demi masalah sepele?"
"Itu tidak sepele!" seru Takuma, bangkit dari tidurnya. "Itu penting! Aku pacarmu! Tentu saja pacar harus melihatnya lebih dulu. Kita sudah berjanji ketika masih kecil."
Mayu diam sejenak, kemudian menutup tirai pembatas. "Baik, aku akan membiarkanmu melihatnya pertama kali."
"Apa?"
"Aku bisa menunjukkan padamu kapan saja." kata Mayu. "Tolong jangan lakukan tindakan gegabah seperti ini lagi."
Mayu melepas jas sekolah Takuma. Dari luar baju olahraganya yang basah, baju dalam merah jambunya terlihat. Ketika Mayu hendak membuka kaosnya, mendadak Takuma berteriak.
"Tunggu!" seru Takuma, memegangi dadanya. "Dadaku sakit."
Mayu memakai kembali jas sekolah Takuma. "Jika kau begitu antusias, aku tidak akan pernah menunjukkan padamu! Tidak akan pernah!"
Mayu hendak berjalan keluar dari ruang kesehatan, tapi Takuma mengejarnya.
"Tunggu!"
Mayu berlari, menghindari Takuma. Takuma mengejar Mayu. Yah, kejar-kejaran deh!"
Akhirnya Takuma berhasil menangkap Mayu dan memeluknya.
Mendadak terdengar suara murid lewat. Mayu dan Takuma menunduk, bersembunyi agar tidak terlihat.
Takuma meraih tangan Mayu, kemudian mencium bibirnya.
"Mayuku tersayang, aku menyadari sesuatu ketika aku dirawat di rumah sakit untuk ke tujuh kalinya." ujar Takuma. "Ada sesuatu yang kuinginkan. Jika aku bisa keluar dari rumah sakit, aku ingin menciummu. Menggenggam tanganmu. Memelukmu dengan erat, kemudian putus denganmu. Ketika kau bersamaku, kau selalu menangis. Ketika di pikiranku hanya ada Mayu, tapi bagi Mayu, di dalam pikirannya selalu ada penyakitku. Kau selalu cemas mengenai kapan aku mati. Agar kau tidak selalu menangis, kurasa seharusnya aku putus saja denganmu, saat aku masih hidup."
Ketika berciuman dengan Takuma, Mayu menangis. Takuma kemudian memeluknya erat.
Takuma mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa ia ingin bersekolah di SMA Shidou. Tapi orang tuanya menolak. Jika bersekolah disana, maka Takuma harus tinggal di asrama. Kedua orang tuanya tidak akan bisa menjaga Takuma.
"Aku ingin membuat kenangan indak sebelum aku mati." kata Takuma. "Aku ingin mencoba segalanya tanpa takut. Agar aku tidak menyesal."
Kedua orang tuanya diam sejenak.
"Apa karena Mayu?" tanya Ibu Takuma. "Kau melihat pilihan sekolah Mayu, bukan?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Mayu."
Ibu Takuma mendatangi Mayu dan memohon pada Mayu agar membujuk Takuma mengambil SMA lokal.
"Bibi, kurasa kau salah." kata Mayu, terlihat terkejut mendengar informasi itu. "Dengan nilaiku, mustahil bagiku diterima di SMA Shidou. Aku baru tahu kalau Takuma mendaftar di SMA Shidou."
Di sekolah.
"Takuma sudah mempersiapkan ujian masuknya." kata Mayu, menoleh ke arah Takuma yang sedang serius. "Kemana kau akan mendaftar?"
"SMA Shidou." jawab Takuma singkat.
"Wah!" seru Mayu keras, membuat semua murid menoleh. "Orang ini akan mendaftar di Shidou!"
"Diam!" seru Takuma.
"Aah, nilaiku tidak akan cukup." keluh Mayu. "Aku tidak ingin masuk SMA. Aku punya rencana lain. Rencana yang sudah kita buat saat masih kecil. Apa kau lupa?"
Takuma diam.
"Sepertinya kau lupa." gumam Mayu.
Takuma menunjukkan surat penerimaan SMA Shidou pada ibunya. "Dengan ini, aku bisa putus dengan Mayu secara wajar."
Hari kelulusan.
Takuma mencari-cari Mayu, namun tidak bisa menemukannya.
Mendadak, seseorang memukul kepalanya dengan keras. Mayu. "Siapa yang kau cari?" tanya Mayu.
"Aku tidak mencari siapa-siapa." jawab Takuma.
"Begitukah?!" seru Mayu, berjalan mendahului.
"Bagaimana hasil ujian masuk ke SMA pilihan keduamu?" tanya Takuma.
"Aku gagal." jawab Mayu. "Aku kagum pada diriku sendiri. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku sebodoh ini."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Mungkin aku akan mencari kerja." jawab Mayu acuh. Ia mengeluh. "Sepertinya aku hanya bisa berada di samping Takuma sampai SMP."
"Mayu..." panggil Takuma ragu. Walaupun berusaha, tapi Takuma tidak sanggup mengucapkan selamat tinggal pada Mayu.
Malam itu, Takuma duduk diam di kamarnya, memandang foto-fotonya bersama Mayu sejak kecil. Ia merasa bimbang dan frustasi.
Takuma masuk ke SMA Shidou. Saat Kepala Sekolah mengucapkan pidatonya, Takuma terlihat sangat bosan dan mengantuk.
Pidato akhirnya selesai.
"Selanjutnya." ujar pembawa acara. "Kata sambutan dari murid baru. Perwakilan murid baru adalah Taneda Mayu."
Takuma kaget dan menoleh.
Mayu berjalan dengan percaya diri ke depan untuk mengucapkan sambutannya.
Mayu berdiri di podium. Matanya jelalatan ke arah murid-murid, mencari Takuma.
"Takuma! Aku menemukanmu!" seru Mayu. "Kau terkejut? Kau ingin putus denganku? Terlalu cepat sejuta tahun! Aku belajar! Aku mencari guru private dan belajar dengan keras."
Para murid bingung mendengar celotehan Mayu.
"Terima kasih padamu aku mendapat nilai tertinggi di ujian masuk." kata Mayu. "Aku murid perwakilan dan kau hanya murid biasa. Takuma bodoh! Kau meremehkan aku! Terlalu cepat sejuta tahun!"
"Aku tidak meremehkanmu!" seru Takuma, bangkit dari duduknya.
"Takuma bodoh!" teriak Mayu. "Aku sama sekali tidak berniat masuk SMA! Aku ingin masuk organisasi!"
"Hentikan!" seru pihak SMA Shidou, menarik Mayu dari podium.
Mayu mendorong mereka dengan kasar hingga jatuh ke lantai. "Hari minggu aku ingin ikut kelas memasak dan belajar merangkai bunga. Dan bahasa Inggris. Aku ingin menikah. Hanya tinggal 2 tahun lagi. Aku senang menunggu Takuma berumur 18. Apa kau lupa? Janji masa kecil kita?"
Takuma diam.
"Jangan meremehkan aku." ujar Mayu. "Aku tidak akan pernah melupakan janji itu. Ingin mencampakkan aku? Terlalu cepat seratus juta tahun! Aku ingin menjadi pengantin paling cantik di dunia! Apa kau dengar?!"
Makin banyak orang yang naik ke podium untuk menarik Mayu turun, tapi Mayu mendorong mereka semua. "Lepaskan aku!" serunya, meronta. "Aku belum selesai!"
Takuma dan Mayu meneruskan berdebatan mereka di taman sekolah. Mereka jadi bahan tontonan murid-murid lain.
"Tentu saja aku tidak lupa!" seru Takuma. "Tapi, walaupun tidak lupa..."
"Kau melamar dan menciumku!" seru Mayu. "Dan kau masih bisa mengatakan itu?"
"Yang ingin kukatakan..."
"Apa?" potong Mayu.
"Dandananmu terlalu berlebihan!" kata Takuma, mengejek.
"Diam!" seru Mayu, membalas. "Apa yang salah dengan itu. Lihat rambutmu!"
"Mereka benar-benar akan menikah." celetuk salah seorang murid.
"Diam! Siapa yang bilang?"
"Memang!" kata Mayu. "Karena itu, tidak ada seorangpun yang bisa mengambil orang ini dariku."
"Diam." kata Takuma, berjalan pergi. "Kau bahkan tidak tahu apa yang dirasakan orang lain."
"Tunggu!" seru Mayu, mengejar Takuma.
Tanpa mereka ketahui, seorang murid laki-laki tersenyum menonton mereka.
Boku No Hatsukoi Kimi Ni Sasagu (Part 2)
Sinopsis Boku no Hatsukoi Kimi ni Sasagu
(I Give My First Love to You)
Part 2
Takuma membereskan barang-barang di kamar barunya. Tidak lama kemudian seorang pria berkacamata masuk.
Pria itu terlonjak kaget melihat Takuma. "Ah! Bukankah kau laki-laki yang dilamar di podium?" tanyanya. "Aku teman sekamarmu, Sugiyama Ritsu."
Ritsu mengulurkan tangannya dan disambut dengan hangat oleh Takuma.
Di lain sisi, Mayu masuk ke kamar barunya.
"Permisi." kata Mayu.
"Kau orang yang mengungkapkan cinta di podium." kata gadis teman sekamar Mayu.
"Aku Taneda Mayu." ujar Mayu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.
"Aku teman sekamarmu, Tamura Yuiko." ujar Yuiko, menyambut uluran tangan Mayu.
Seorang laki-laki duduk diam di depan asrama putri.
"Permisi." kata seorang murid perempuan. "Disini asrama putri."
Murid-murid perempuan keluar untuk melihat laki-laki itu. Laki-laki yang tertawa saat melihat Mayu dan Takuma bertengkar.
"Aku akan keluar, tapi jika aku bisa, aku ingin tinggal bersama kalian disini." kata laki-laki itu. Laki-laki itu berjalan mendekati gadis yang menegurnya. Ia melepas kacamata gadis itu. "Ah, sudah kusangka, kau memang manis. Halo semua! Aku murid baru. Namaku Suzuya Kou."
Mayu belajar memanah di klub memanah. Ia memanah dengan sangat canggih dan menjadi satu-satunya murid yang bisa memanah tepat di tengah target.
Takuma dan Ritsu melihat dari jauh.
"Taneda bisa melakukan segalanya, ya?" tanya Ritsu.
"Dia menunjukkan kemampuannya lebih dari sebelumnya." jawab Taneda. "Dia pasti akan unggul dalam segala hal jika tidak perlu menjagaku."
Tidak sengaja Mayu melihat Takuma dan langsung melambaikan tangan senang. Sebagai akibatnya, ia kena marah ketua klub.
Takuma menertawakannya.
Mayu menempel terus pada Takuma. Bahkan ketika Takuma naik bus hendak check up, Mayu membuntutinya. Mayu menggandeng tangan Takuma dan menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku hanya check up." kata Takuma. "Kenapa kau ikut?"
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah." jawab Mayu.
"Jangan dekat-dekat!" seru Takuma, menarik tangannya dari pelukan Mayu.
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah!" teriak Mayu dan memeluk Takuma lagi, hingga Takuma terjatuh ke bangku bus.
Semua penumpang menoleh ke arah mereka.
"Hentikan!" teriak Takuma kesal.
"Hussshh..." bisik Mayu.
"Maafkan aku. Maafkan aku." ujar Takuma pada para penumpang bus. Ia berpaling pada Mayu. "Sudah kubilang jangan dekat-dekat."
"Tidak apa-apa." kata Mayu, tidak menggubris kata-kata Takuma. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa."
Takuma memeriksakan diri ke Dokter Taneda. Dokter mengatakan kesehatan Takuma baik-baik saja.
"Dokter, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Takuma. "Sejauh mata batasan olahraga yang boleh kulakukan?"
"Apa maksudmu?"
"Karena aku tidak bisa lari, bolehkan aku melakukan olahraga yang tidak perlu lari?" tanya Takuma.
"Olahraga tanpa lari?" gumam Dokter.
"Sebagai contoh, memanah." kata Takuma.
"Memanah?" gumam Dokter.
"Dan bercinta?" tanya Takuma lagi.
Dokter Taneda mematahkan pulpennya dan hendak memukul Takuma. Takuma kaget.
"Kau akan melakukan olahraga itu dengan siapa?" tanya Dokter, mencoba menahan emosinya.
"Aku tidak akan melakukannya dengan Mayu." kata Takuma takut-takut. "Aku tidak akan melakukannya dengan putri Dokter. Karena aku belum pernah melakukannya, aku ingin tahu bagaimana melakukannya."
"Itu akan menghabiskan banyak tenaga." kata Dokter, duduk lagi ke kursinya. "Sebagai Dokter, aku tidak menyarankan hal itu."
Takuma tersenyum. "Begitu." ujar Takuma seraya memutar-mutar kursinya.. "Untuk seseorang yang tidak bisa bercinta, menikah adalah hal yang mustahil juga. Gadis itu tidak akan mengerti hal ini."
Mayu menggandeng dan memeluk tangan Takuma erat. Ia juga menyandarkan kepalanya di bahu Takuma.
"Aku tidak bisa berjalan begini!" seru Takuma.
"Sekarang kau sedang jalan." kata Mayu. "Kenapa kau malu?"
"Aku tidak malu!" kata Takuma, mencoba melepaskan diri dari Mayu.
Takuma menekan tombol elevator.
"Takuma?" sapa seorang gadis ragu.
"Kau Teru, bukan?" tanya Takuma. "Lama tidak bertemu."
Takuma dan Teru berbincang berdua di taman rumah sakit.
"Aku tidak percaya!" seru Teru. "Takuma si anak kecil sekarang sudah menjadi seorang pria tampan."
"Kita terakhir bertemu saat SD, bukan?" tanya Takuma.
Sebuah bola menggelinding ke kaki Teru. Teru melemparkannya lagi pada seorang anak kecil.
"Kau masih bersama Mayu." ujar Teru, memandang Mayu yang duduk sendirian dari jauh. "Dulu, para perawat menyebut kalian 'Pasangan Suami Istri kecil'."
Takuma tertawa, melihat Mayu.
Teru bertanya pada Takuma apakah Takuma sudah mendaftar transplantasi organ.
Tentu saja Takuma sudah mendaftar. "Karena hanya itulah cara untuk menyelamatkan kami."
Teru dan Takuma memiliki penyakit yang sama, yakni penyakit jantung. Teru pergi ke rumah sakit itu untuk dirawat.
Mendadak Mayu menjadi marah dan menjauh dari Takuma. Di bus, ia tidak lagi lengket pada Takuma.
"Kenapa kau marah?" tanya Takuma.
"Tidak apa-apa." jawab Mayu ngambek.
"Kalau masalah Teru, kau sudah mengenalnya, bukan?" tanya Takuma. "Dia biasa bermain bersama kita ketika masih kecil."
"Aku tidak ingat!" seru Mayu, pindah ke kursi depan. "Kenapa laki-laki seperti ini? Ketika melihat gadis yang cantik sedikit saja, mereka akan pergi."
"Perempuan juga begitu!" balas Takuma tidak mau kalah. "Ketika melihat pria tampan, mereka akan tersenyum dari telinga sampai telinga."
Mayu mencari Takuma di kelasnya, tapi teman-teman Takuma mengatakan bahwa Takuma pergi ke rumah sakit.
Mayu kesal. "Aku tahu kenapa ia ke rumah sakit." ujarnya marah.
Takuma menjenguk Teru di rumah sakit dan membawakanya bunga.
Mayu keluar dari kelas Takuma dengan kesal dan langkah kasar. Ketika ia membuka pintu dan berjalan, tanpa sengaja ia menabrak seorang pria hingga terjatuh. Kou.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Kou, mengulurkan tangan untuk membantu Mayu.
"Aku tidak apa-apa." jawab Mayu, tidak menerima uluran tangan Kou.
Kou menatap tangannya sendiri. "Kau Taneda Mayu, bukan?" tanyanya. "Aku adalah Suzuya Kou, murid yang menempati posisi tertinggi kedua saat ujian masuk."
Lagi-lagi Kou mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Mayu, tapi Mayu diam saja.
Para murid menonton mereka. Gadis-gadis menjerit histeris. Kou adalah murid populer di sekolah.
Karena Mayu diam saja, Kou meraih tangan Mayu. "Tuan Putri, ayo kita nikmati masa-masa sekolah."
Mayu meronta, melepaskan tangannya dari Kou. Tapi Kou memegang tangannya dengan erat hingga Mayu tidak bisa berkutik.
"Lepaskan!" seru Mayu marah, kemudian berlari pergi.
Kou tersenyum.
Ketika Takuma pulang dari rumah sakit malam harinya, ia melihat Kou sedang menemui seorang wanita. Wanita itu memberi Kou makanan.
"Aku akan datang lagi." kata wanita itu. Sepertinya ia adalah ibu Kou.
"Jangan datang lagi." ujar Kou dingin.
Wanita itu berjalan pergi.
"Kangan katakan pada siapapun apa yang baru saja kau lihat." kata Kou pada Takuma. "Jika seseorang tahu bahwa murid paling populer di sekolah ini berasal dari keluarga miskin, imageku akan rusak."
Takuma diam.
"Kudengar jantungmu sakit." kata Kou. "Sejak kapan itu terjadi?"
"Itu bukan urusanmu." jawab Takuma dingin seraya berjalan pergi.
"Kakinouchi Takuma!" panggil Kou. "Ikutlah denganku."
Kou mengajak Takuma ke pinggir lapangan. Ia memberikan botol minuman pada Takuma. Takuma diam saja, tidak menerimanya.
"Minuman manis ini buruk untuk tubuhmu?" tanya Kou. Melihat ekspresi bingung di wajah Takuma, Kou berkata, "Aku mengenal seseorang yang punya penyakit sama sepertimu, karena itulah aku tahu. Dibandingkan kau, mungkin aku lebih mengerti apa yang dirasakan... Taneda Mayu."
Takuma tidak mengatakan apapun.
"Orang itu mati." kata Kou. "Sama sepertimu, ia menunggu donor jantung, tapi tidak ada yang mendonorkannya. Pada akhirnya, ia mati. Dia adalah ayahku. Aku sama sekali tidak tertarik pada orang yang sekarat. Aku hanya tertarik pada orang yang ditinggalkan. Ibuku. Ibuku masih saja menangis jika memikirkan ayah."
Takuma mulai mengerti apa yang dimaksudkan Kou.
"Sama seperti ibuku, Mayu hanyalah manusia biasa." ujar Kou. "Seorang gadis yang sudah jatuh cinta dan memiliki pacar di awal SMA. Dan pacarnya ini... memiliki penyakit yang sama dengan ayahku. Ketika mengetahui hal itu, aku berpikir.... jika kau mati, ia akan menangis selamanya. Untuk mencegah itu, aku akan membuatnya menjadi milikku sebelum kau mati."
Kou berjalan mendekati Takuma dan bicara dengan sangat dekat. "Kau... kenapa kau masuk SMA ini? Bukankah karena ingin putus dengannya? Kalau begitu, putus dengannya."
Ketika Mayu sedang berjalan bersama teman-temannya, Kou datang mendekatinya.
"Tuan Putri!" panggil Kou.
Mayu menarik napas kesal.
Kou mendekati dan berdiri di samping Mayu. "Aku ingin kau berkencan denganku." katanya.
Mayu menoleh kaget. "Hah?"
"Atau dengan kata lain, aku ingin kau menjadi kekasihku." kata Kou seraya merangkul pundak Mayu.
"Sudah kubilang padamu bahwa aku sudah punya Takuma!" seru Mayu, menghempaskan tangan Kou dari pundaknya.
"Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar." kata Kou, tidak menggubris kata-kata Mayu.
Saat para murid laki-laki berolahraga, seperti biasanya, Takuma hanya duduk menonton di pinggir lapangan. Bukan hanya Takuma yang menonton, para murid perempuan juga ikut menonton dan menjerit-jerit kecentilan melihat Kou.
Kou dan beberapa murid laki-laki lain melakukan balap lari. Kou memimpin dan menang mutlak. Para gadis berteriak-teriak.
Takuma berdecak lidah dan berjalan pergi.
Seperti biasa, saat guru sedang mengajar, Mayu malah menggambar karikatur guru itu. Ia tersenyum sendiri dan tanpa sengaja menoleh ke luar jendela. Disana, ia melihat Takuma sedang berjalan seorang diri melewati taman.
"Guru!" seru Mayu. "Bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?"
"Mau kemana kau?" seru Mayu, berlari mengejar Takuma.
Takuma menoleh. "Aku mau ke rumah sakit." jawabnya. "Hari ini bukan hari aku check up, jadi aku tidak mendapat izin pulang cepat."
"Kau ingin menjenguk orang itu lagi?" tanya Mayu.
"Kau tidak mengerti bagaimana rasanya tinggal di rumah sakit sendirian." ujar Takuma. "Daripada membuang-buang waktu untuk cemburu, bukankah lebih baik kau menjadi wanita yang lebih sensitif?" tanya Takuma.
Takuma mengambil meja dan melompati pagar sekolah. Ketika ia melompat, sebuah kertas tidak sengaja jatuh dari sakunya.
Mayu mengambilnya.
Di rumah sakit, Takuma bingung mencari-cari kertas tersebut. "Ah, dimana aku menjatuhkannya?" gumamnya.
"Apa yang kau jatuhkan?" tanya Teru.
"Sebuah jimat. Sebuah harapan." jawab Takuma. "Aku menulisnya saat masih kecil. Karena aku selalu tidak mati saat membawanya, maka kertas itu menjadi jimat untukku. Mungkin aku menjatuhkannya saat melompati pagar. Tidak masalah jika Mayu mengambilnya, tapi..."
Teru tertawa. "Kau sangat beruntung karena memiliki seseorang yang manis disisimu." katanya. "Aku tidak memiliki siapapun. Aku malu mengatakan ini, tapi sampai saat ini aku belum pernah jatuh cinta. Dan aku akan menjalani transplantasi jantung. Jika aku memiliki bekas luka yang lebih besar dari yang kumiliki sekarang, mungkin aku tidak akan mampu memperlihatkan bekas menakutkan ini pada pria. Aku seperti biarawati."
"Itu tidak benar." kata Takuma. "Walaupun begitu, tidak masalah. Kau seorang gadis yang sangat cantik."
Teru diam sejenak. "Takuma, maukah... kau menciumku?" tanyanya pelan.
Takuma diam, menunduk.
"Aku tidak pernah jatuh cinta dan belum pernah dicium." kata Teru sedih. "Aku... tidak ingin mati seperti ini. Takuma, apa kau membenciku? Jika kau membenciku..."
"Bukan seperti itu." jawab Takuma.
"Jadi kau menyukaiku?" tanya Teru. Ia bangkit dari duduknya dan mendekati Takuma. Teru menunduk dan mengecup bibir Takuma.
Takuma hanya diam, tapi juga tidak membalas ciuman Teru.
"Ini ciuman pertamaku." ujar Teru tersenyum.
Takuma duduk sendirian di Observatorium. Mayu menyusulnya.
"Aku melihatmu datang ke sini." ujar Mayu. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku datang kesini jika ingin sendirian." jawab Takuma.
"Kau ingin menjadi astronot, bukan?"
"Kau tidak dengar, aku datang kemari jika ingin sendirian." ujar Takuma mengulangi.
"Hmm." Hanya itulah yang diucapkan Mayu, namun ia tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Takuma diam sejenak. "Maafkan aku." katanya. "Teru dan aku... berciuman."
Mayu terdiam.
Takuma bangkit dari dudunya, mendekat pada Mayu. "Dia bertanya apakah aku membencinya dan kujawab tidak. Dia beranggapan aku menyukainya, lalu..."
"Apa kau bodoh?!" seru Mayu. "Dia menanyakan itu dengan tujuan tertentu, bukan? Hanya karena dia lebih cantik..."
"Itu tidak benar!" seru Takuma.
"Lalu apa?!"
"Dia bilang, ia tidak ingin mati seperti ini." ujar Takuma, menjelaskan. "Aku tidak bisa bersikap dingin pada orang yang belum menemukan jantung yang cocok."
"Itulah yang kubenci darimu!"
"Kalau begitu, kita putus." kata Takuma. "Hari ini adalah pertama kalinya aku mengerti pikiranmu, Mayu. Mendengar seseorang yang tidak tenang meminta ciuman, aku tidak bisa menolaknya. Aku ingat, akulah yang selalu mengatakan bahwa aku menyukaimu, Mayu. Aku menyukaimu karena kau baik dan tidak pernah menolakku. Setiap kali aku berpikir mengenai semua yang telah kau lakukan untukku, aku merasa tidak bisa menolak Teru."
Mayu menangis. "Takuma, kau sama sekali tidak mengerti pikiranku." katanya. "Kenapa kau tidak bisa menolaknya? Jika seorang laki-laki menyukai seorang gadis, dan gadis lain bertanya apakah laki-laki itu membencinya atau tidak, jawabannya seharusnya iya."
Mayu mengambil kertas Takuma yang terjatuh dari saku dan melemparnya ke arah Takuma. "Jika kau memang ingin putus, baik. Kita putus."
Keesokkan paginya, Takuma berjalan ke gedung kelas sendirian. Dari jauh, ia melihat Mayu, namun kemudian memalingkan wajah.
"Tuan Putri!" seru Kou, berlari dan memeluk Mayu dari belakang.
"Lepaskan aku!" seru Mayu, mencoba melepaskan diri dari Kou.
Takuma pergi ke rumah sakit. Ia berjalan ke kamar Teru, namun Teru sudah tidak ada disana.
"Permisi." panggil Takuma pada seorang perawat. "Dimana pasien yang ada dikamar ini? Uehara Teru?"
"Dia sudah meninggal tadi malam." jawab perawat. "Penyakitnya mendadak memburuk. Tidak ada yang bisa kami lakukan."
Takuma sangat terpukul mendengarnya. Ia pergi keluar karena jantungnya terasa sakit.
Takuma terjatuh dan bertumpu pada pagar.
Mayu berlatih memanah, tapi tidak satupun panahnya mengenai sasaran.
"Tuan Putri." panggil Kou dari pintu. Ia melambaikan tangannya pada Mayu. "Aku sudah mengatakan akan menunggu jawabanmu. Bukankah ini waktunya kau memberiku jawaban?"
Mayu diam, tidak memedulikan Kou.
"Tuan Putri, apa kau membenciku?" tanya Kou.
"Bukan begitu."
"Kalau begitu, kau pasti menyukaiku!" seru Kou bersemangat. Ia berjalan mendekati Mayu. "Aku termasuk tipemu, bukan?"
"Aku... jauh lebih menyukai Takuma dibanding kau." kata Mayu. "Aku menyukainya lebih dari semua orang yang ada di dunia ini."
"Dia akan segera mati." kata Kou. "Dia tidak punya banyak waktu."
Mayu meledak marah dan menampar Kou. "Jika kau mengatakan hal seperti itu lagi, aku akan membunuhmu! Takuma tidak akan mati dan meninggalkanku sendiri! Jika kau bicara sembarangan mengenai nyawa Takuma, aku tidak akan memaafkanmu!"
Mayu beranjak pergi, namun Kou berteriak. "Kau tidak mengerti apapun!" serunya. "Apa kau tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat penting untukmu? Jika ia mati dan meninggalkanmu... apa yang akan terjadi padamu?" Kou berjalan perlahan dan memeluk Mayu. "Aku tidak bisa melihat kau sedih!"
"Lepaskan aku!" teriak Mayu.
"Tidak akan!"
"Lepaskan!" Mayu mendorong Kou hingga jatuh terjerembab ke lantai.
Kou tertawa, kemudian berjalan pergi.
Setelah rasa sakitnya berkurang, Takuma duduk bersandar pada pagar dan menatap langit.
"Kita akan berlomba apa?" tanya Kou, menepuk wajah Takuma. "Lihat wajahmu yang pucat!"
"Lari 100 meter." jawab Takuma.
"Itu sama halnya dengan menemanimu bunuh diri." jawab Kou. "Aku tidak bisa melakukannya." Kou berjalan pergi meninggalkan Takuma.
"Jika aku kalah, Mayu akan menjadi milikmu." seru Takuma. "Jika aku menang, jangan ganggu dia lagi. Aku tidak mau melihatmu bicara dengannya. Aku tidak mau melihatmu berjalan di jalan yang sama dengannya. Jangan berani memandangnya jika kau bertemu dengannya di sekolah."
Kou berbalik, menatap Takuma dan menimbang sejenak.
Pria itu terlonjak kaget melihat Takuma. "Ah! Bukankah kau laki-laki yang dilamar di podium?" tanyanya. "Aku teman sekamarmu, Sugiyama Ritsu."
Ritsu mengulurkan tangannya dan disambut dengan hangat oleh Takuma.
Di lain sisi, Mayu masuk ke kamar barunya.
"Permisi." kata Mayu.
"Kau orang yang mengungkapkan cinta di podium." kata gadis teman sekamar Mayu.
"Aku Taneda Mayu." ujar Mayu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.
"Aku teman sekamarmu, Tamura Yuiko." ujar Yuiko, menyambut uluran tangan Mayu.
Seorang laki-laki duduk diam di depan asrama putri.
"Permisi." kata seorang murid perempuan. "Disini asrama putri."
Murid-murid perempuan keluar untuk melihat laki-laki itu. Laki-laki yang tertawa saat melihat Mayu dan Takuma bertengkar.
"Aku akan keluar, tapi jika aku bisa, aku ingin tinggal bersama kalian disini." kata laki-laki itu. Laki-laki itu berjalan mendekati gadis yang menegurnya. Ia melepas kacamata gadis itu. "Ah, sudah kusangka, kau memang manis. Halo semua! Aku murid baru. Namaku Suzuya Kou."
Mayu belajar memanah di klub memanah. Ia memanah dengan sangat canggih dan menjadi satu-satunya murid yang bisa memanah tepat di tengah target.
Takuma dan Ritsu melihat dari jauh.
"Taneda bisa melakukan segalanya, ya?" tanya Ritsu.
"Dia menunjukkan kemampuannya lebih dari sebelumnya." jawab Taneda. "Dia pasti akan unggul dalam segala hal jika tidak perlu menjagaku."
Tidak sengaja Mayu melihat Takuma dan langsung melambaikan tangan senang. Sebagai akibatnya, ia kena marah ketua klub.
Takuma menertawakannya.
Mayu menempel terus pada Takuma. Bahkan ketika Takuma naik bus hendak check up, Mayu membuntutinya. Mayu menggandeng tangan Takuma dan menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku hanya check up." kata Takuma. "Kenapa kau ikut?"
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah." jawab Mayu.
"Jangan dekat-dekat!" seru Takuma, menarik tangannya dari pelukan Mayu.
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah!" teriak Mayu dan memeluk Takuma lagi, hingga Takuma terjatuh ke bangku bus.
Semua penumpang menoleh ke arah mereka.
"Hentikan!" teriak Takuma kesal.
"Hussshh..." bisik Mayu.
"Maafkan aku. Maafkan aku." ujar Takuma pada para penumpang bus. Ia berpaling pada Mayu. "Sudah kubilang jangan dekat-dekat."
"Tidak apa-apa." kata Mayu, tidak menggubris kata-kata Takuma. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa."
Takuma memeriksakan diri ke Dokter Taneda. Dokter mengatakan kesehatan Takuma baik-baik saja.
"Dokter, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Takuma. "Sejauh mata batasan olahraga yang boleh kulakukan?"
"Apa maksudmu?"
"Karena aku tidak bisa lari, bolehkan aku melakukan olahraga yang tidak perlu lari?" tanya Takuma.
"Olahraga tanpa lari?" gumam Dokter.
"Sebagai contoh, memanah." kata Takuma.
"Memanah?" gumam Dokter.
"Dan bercinta?" tanya Takuma lagi.
Dokter Taneda mematahkan pulpennya dan hendak memukul Takuma. Takuma kaget.
"Kau akan melakukan olahraga itu dengan siapa?" tanya Dokter, mencoba menahan emosinya.
"Aku tidak akan melakukannya dengan Mayu." kata Takuma takut-takut. "Aku tidak akan melakukannya dengan putri Dokter. Karena aku belum pernah melakukannya, aku ingin tahu bagaimana melakukannya."
"Itu akan menghabiskan banyak tenaga." kata Dokter, duduk lagi ke kursinya. "Sebagai Dokter, aku tidak menyarankan hal itu."
Takuma tersenyum. "Begitu." ujar Takuma seraya memutar-mutar kursinya.. "Untuk seseorang yang tidak bisa bercinta, menikah adalah hal yang mustahil juga. Gadis itu tidak akan mengerti hal ini."
Mayu menggandeng dan memeluk tangan Takuma erat. Ia juga menyandarkan kepalanya di bahu Takuma.
"Aku tidak bisa berjalan begini!" seru Takuma.
"Sekarang kau sedang jalan." kata Mayu. "Kenapa kau malu?"
"Aku tidak malu!" kata Takuma, mencoba melepaskan diri dari Mayu.
Takuma menekan tombol elevator.
"Takuma?" sapa seorang gadis ragu.
"Kau Teru, bukan?" tanya Takuma. "Lama tidak bertemu."
Takuma dan Teru berbincang berdua di taman rumah sakit.
"Aku tidak percaya!" seru Teru. "Takuma si anak kecil sekarang sudah menjadi seorang pria tampan."
"Kita terakhir bertemu saat SD, bukan?" tanya Takuma.
Sebuah bola menggelinding ke kaki Teru. Teru melemparkannya lagi pada seorang anak kecil.
"Kau masih bersama Mayu." ujar Teru, memandang Mayu yang duduk sendirian dari jauh. "Dulu, para perawat menyebut kalian 'Pasangan Suami Istri kecil'."
Takuma tertawa, melihat Mayu.
Teru bertanya pada Takuma apakah Takuma sudah mendaftar transplantasi organ.
Tentu saja Takuma sudah mendaftar. "Karena hanya itulah cara untuk menyelamatkan kami."
Teru dan Takuma memiliki penyakit yang sama, yakni penyakit jantung. Teru pergi ke rumah sakit itu untuk dirawat.
Mendadak Mayu menjadi marah dan menjauh dari Takuma. Di bus, ia tidak lagi lengket pada Takuma.
"Kenapa kau marah?" tanya Takuma.
"Tidak apa-apa." jawab Mayu ngambek.
"Kalau masalah Teru, kau sudah mengenalnya, bukan?" tanya Takuma. "Dia biasa bermain bersama kita ketika masih kecil."
"Aku tidak ingat!" seru Mayu, pindah ke kursi depan. "Kenapa laki-laki seperti ini? Ketika melihat gadis yang cantik sedikit saja, mereka akan pergi."
"Perempuan juga begitu!" balas Takuma tidak mau kalah. "Ketika melihat pria tampan, mereka akan tersenyum dari telinga sampai telinga."
Mayu mencari Takuma di kelasnya, tapi teman-teman Takuma mengatakan bahwa Takuma pergi ke rumah sakit.
Mayu kesal. "Aku tahu kenapa ia ke rumah sakit." ujarnya marah.
Takuma menjenguk Teru di rumah sakit dan membawakanya bunga.
Mayu keluar dari kelas Takuma dengan kesal dan langkah kasar. Ketika ia membuka pintu dan berjalan, tanpa sengaja ia menabrak seorang pria hingga terjatuh. Kou.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Kou, mengulurkan tangan untuk membantu Mayu.
"Aku tidak apa-apa." jawab Mayu, tidak menerima uluran tangan Kou.
Kou menatap tangannya sendiri. "Kau Taneda Mayu, bukan?" tanyanya. "Aku adalah Suzuya Kou, murid yang menempati posisi tertinggi kedua saat ujian masuk."
Lagi-lagi Kou mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Mayu, tapi Mayu diam saja.
Para murid menonton mereka. Gadis-gadis menjerit histeris. Kou adalah murid populer di sekolah.
Karena Mayu diam saja, Kou meraih tangan Mayu. "Tuan Putri, ayo kita nikmati masa-masa sekolah."
Mayu meronta, melepaskan tangannya dari Kou. Tapi Kou memegang tangannya dengan erat hingga Mayu tidak bisa berkutik.
"Lepaskan!" seru Mayu marah, kemudian berlari pergi.
Kou tersenyum.
Ketika Takuma pulang dari rumah sakit malam harinya, ia melihat Kou sedang menemui seorang wanita. Wanita itu memberi Kou makanan.
"Aku akan datang lagi." kata wanita itu. Sepertinya ia adalah ibu Kou.
"Jangan datang lagi." ujar Kou dingin.
Wanita itu berjalan pergi.
"Kangan katakan pada siapapun apa yang baru saja kau lihat." kata Kou pada Takuma. "Jika seseorang tahu bahwa murid paling populer di sekolah ini berasal dari keluarga miskin, imageku akan rusak."
Takuma diam.
"Kudengar jantungmu sakit." kata Kou. "Sejak kapan itu terjadi?"
"Itu bukan urusanmu." jawab Takuma dingin seraya berjalan pergi.
"Kakinouchi Takuma!" panggil Kou. "Ikutlah denganku."
Kou mengajak Takuma ke pinggir lapangan. Ia memberikan botol minuman pada Takuma. Takuma diam saja, tidak menerimanya.
"Minuman manis ini buruk untuk tubuhmu?" tanya Kou. Melihat ekspresi bingung di wajah Takuma, Kou berkata, "Aku mengenal seseorang yang punya penyakit sama sepertimu, karena itulah aku tahu. Dibandingkan kau, mungkin aku lebih mengerti apa yang dirasakan... Taneda Mayu."
Takuma tidak mengatakan apapun.
"Orang itu mati." kata Kou. "Sama sepertimu, ia menunggu donor jantung, tapi tidak ada yang mendonorkannya. Pada akhirnya, ia mati. Dia adalah ayahku. Aku sama sekali tidak tertarik pada orang yang sekarat. Aku hanya tertarik pada orang yang ditinggalkan. Ibuku. Ibuku masih saja menangis jika memikirkan ayah."
Takuma mulai mengerti apa yang dimaksudkan Kou.
"Sama seperti ibuku, Mayu hanyalah manusia biasa." ujar Kou. "Seorang gadis yang sudah jatuh cinta dan memiliki pacar di awal SMA. Dan pacarnya ini... memiliki penyakit yang sama dengan ayahku. Ketika mengetahui hal itu, aku berpikir.... jika kau mati, ia akan menangis selamanya. Untuk mencegah itu, aku akan membuatnya menjadi milikku sebelum kau mati."
Kou berjalan mendekati Takuma dan bicara dengan sangat dekat. "Kau... kenapa kau masuk SMA ini? Bukankah karena ingin putus dengannya? Kalau begitu, putus dengannya."
Ketika Mayu sedang berjalan bersama teman-temannya, Kou datang mendekatinya.
"Tuan Putri!" panggil Kou.
Mayu menarik napas kesal.
Kou mendekati dan berdiri di samping Mayu. "Aku ingin kau berkencan denganku." katanya.
Mayu menoleh kaget. "Hah?"
"Atau dengan kata lain, aku ingin kau menjadi kekasihku." kata Kou seraya merangkul pundak Mayu.
"Sudah kubilang padamu bahwa aku sudah punya Takuma!" seru Mayu, menghempaskan tangan Kou dari pundaknya.
"Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar." kata Kou, tidak menggubris kata-kata Mayu.
Saat para murid laki-laki berolahraga, seperti biasanya, Takuma hanya duduk menonton di pinggir lapangan. Bukan hanya Takuma yang menonton, para murid perempuan juga ikut menonton dan menjerit-jerit kecentilan melihat Kou.
Kou dan beberapa murid laki-laki lain melakukan balap lari. Kou memimpin dan menang mutlak. Para gadis berteriak-teriak.
Takuma berdecak lidah dan berjalan pergi.
Seperti biasa, saat guru sedang mengajar, Mayu malah menggambar karikatur guru itu. Ia tersenyum sendiri dan tanpa sengaja menoleh ke luar jendela. Disana, ia melihat Takuma sedang berjalan seorang diri melewati taman.
"Guru!" seru Mayu. "Bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?"
"Mau kemana kau?" seru Mayu, berlari mengejar Takuma.
Takuma menoleh. "Aku mau ke rumah sakit." jawabnya. "Hari ini bukan hari aku check up, jadi aku tidak mendapat izin pulang cepat."
"Kau ingin menjenguk orang itu lagi?" tanya Mayu.
"Kau tidak mengerti bagaimana rasanya tinggal di rumah sakit sendirian." ujar Takuma. "Daripada membuang-buang waktu untuk cemburu, bukankah lebih baik kau menjadi wanita yang lebih sensitif?" tanya Takuma.
Takuma mengambil meja dan melompati pagar sekolah. Ketika ia melompat, sebuah kertas tidak sengaja jatuh dari sakunya.
Mayu mengambilnya.
Di rumah sakit, Takuma bingung mencari-cari kertas tersebut. "Ah, dimana aku menjatuhkannya?" gumamnya.
"Apa yang kau jatuhkan?" tanya Teru.
"Sebuah jimat. Sebuah harapan." jawab Takuma. "Aku menulisnya saat masih kecil. Karena aku selalu tidak mati saat membawanya, maka kertas itu menjadi jimat untukku. Mungkin aku menjatuhkannya saat melompati pagar. Tidak masalah jika Mayu mengambilnya, tapi..."
Teru tertawa. "Kau sangat beruntung karena memiliki seseorang yang manis disisimu." katanya. "Aku tidak memiliki siapapun. Aku malu mengatakan ini, tapi sampai saat ini aku belum pernah jatuh cinta. Dan aku akan menjalani transplantasi jantung. Jika aku memiliki bekas luka yang lebih besar dari yang kumiliki sekarang, mungkin aku tidak akan mampu memperlihatkan bekas menakutkan ini pada pria. Aku seperti biarawati."
"Itu tidak benar." kata Takuma. "Walaupun begitu, tidak masalah. Kau seorang gadis yang sangat cantik."
Teru diam sejenak. "Takuma, maukah... kau menciumku?" tanyanya pelan.
Takuma diam, menunduk.
"Aku tidak pernah jatuh cinta dan belum pernah dicium." kata Teru sedih. "Aku... tidak ingin mati seperti ini. Takuma, apa kau membenciku? Jika kau membenciku..."
"Bukan seperti itu." jawab Takuma.
"Jadi kau menyukaiku?" tanya Teru. Ia bangkit dari duduknya dan mendekati Takuma. Teru menunduk dan mengecup bibir Takuma.
Takuma hanya diam, tapi juga tidak membalas ciuman Teru.
"Ini ciuman pertamaku." ujar Teru tersenyum.
Takuma duduk sendirian di Observatorium. Mayu menyusulnya.
"Aku melihatmu datang ke sini." ujar Mayu. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku datang kesini jika ingin sendirian." jawab Takuma.
"Kau ingin menjadi astronot, bukan?"
"Kau tidak dengar, aku datang kemari jika ingin sendirian." ujar Takuma mengulangi.
"Hmm." Hanya itulah yang diucapkan Mayu, namun ia tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Takuma diam sejenak. "Maafkan aku." katanya. "Teru dan aku... berciuman."
Mayu terdiam.
Takuma bangkit dari dudunya, mendekat pada Mayu. "Dia bertanya apakah aku membencinya dan kujawab tidak. Dia beranggapan aku menyukainya, lalu..."
"Apa kau bodoh?!" seru Mayu. "Dia menanyakan itu dengan tujuan tertentu, bukan? Hanya karena dia lebih cantik..."
"Itu tidak benar!" seru Takuma.
"Lalu apa?!"
"Dia bilang, ia tidak ingin mati seperti ini." ujar Takuma, menjelaskan. "Aku tidak bisa bersikap dingin pada orang yang belum menemukan jantung yang cocok."
"Itulah yang kubenci darimu!"
"Kalau begitu, kita putus." kata Takuma. "Hari ini adalah pertama kalinya aku mengerti pikiranmu, Mayu. Mendengar seseorang yang tidak tenang meminta ciuman, aku tidak bisa menolaknya. Aku ingat, akulah yang selalu mengatakan bahwa aku menyukaimu, Mayu. Aku menyukaimu karena kau baik dan tidak pernah menolakku. Setiap kali aku berpikir mengenai semua yang telah kau lakukan untukku, aku merasa tidak bisa menolak Teru."
Mayu menangis. "Takuma, kau sama sekali tidak mengerti pikiranku." katanya. "Kenapa kau tidak bisa menolaknya? Jika seorang laki-laki menyukai seorang gadis, dan gadis lain bertanya apakah laki-laki itu membencinya atau tidak, jawabannya seharusnya iya."
Mayu mengambil kertas Takuma yang terjatuh dari saku dan melemparnya ke arah Takuma. "Jika kau memang ingin putus, baik. Kita putus."
Keesokkan paginya, Takuma berjalan ke gedung kelas sendirian. Dari jauh, ia melihat Mayu, namun kemudian memalingkan wajah.
"Tuan Putri!" seru Kou, berlari dan memeluk Mayu dari belakang.
"Lepaskan aku!" seru Mayu, mencoba melepaskan diri dari Kou.
Takuma pergi ke rumah sakit. Ia berjalan ke kamar Teru, namun Teru sudah tidak ada disana.
"Permisi." panggil Takuma pada seorang perawat. "Dimana pasien yang ada dikamar ini? Uehara Teru?"
"Dia sudah meninggal tadi malam." jawab perawat. "Penyakitnya mendadak memburuk. Tidak ada yang bisa kami lakukan."
Takuma sangat terpukul mendengarnya. Ia pergi keluar karena jantungnya terasa sakit.
Takuma terjatuh dan bertumpu pada pagar.
Mayu berlatih memanah, tapi tidak satupun panahnya mengenai sasaran.
"Tuan Putri." panggil Kou dari pintu. Ia melambaikan tangannya pada Mayu. "Aku sudah mengatakan akan menunggu jawabanmu. Bukankah ini waktunya kau memberiku jawaban?"
Mayu diam, tidak memedulikan Kou.
"Tuan Putri, apa kau membenciku?" tanya Kou.
"Bukan begitu."
"Kalau begitu, kau pasti menyukaiku!" seru Kou bersemangat. Ia berjalan mendekati Mayu. "Aku termasuk tipemu, bukan?"
"Aku... jauh lebih menyukai Takuma dibanding kau." kata Mayu. "Aku menyukainya lebih dari semua orang yang ada di dunia ini."
"Dia akan segera mati." kata Kou. "Dia tidak punya banyak waktu."
Mayu meledak marah dan menampar Kou. "Jika kau mengatakan hal seperti itu lagi, aku akan membunuhmu! Takuma tidak akan mati dan meninggalkanku sendiri! Jika kau bicara sembarangan mengenai nyawa Takuma, aku tidak akan memaafkanmu!"
Mayu beranjak pergi, namun Kou berteriak. "Kau tidak mengerti apapun!" serunya. "Apa kau tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat penting untukmu? Jika ia mati dan meninggalkanmu... apa yang akan terjadi padamu?" Kou berjalan perlahan dan memeluk Mayu. "Aku tidak bisa melihat kau sedih!"
"Lepaskan aku!" teriak Mayu.
"Tidak akan!"
"Lepaskan!" Mayu mendorong Kou hingga jatuh terjerembab ke lantai.
Kou tertawa, kemudian berjalan pergi.
Setelah rasa sakitnya berkurang, Takuma duduk bersandar pada pagar dan menatap langit.
"Kita akan berlomba apa?" tanya Kou, menepuk wajah Takuma. "Lihat wajahmu yang pucat!"
"Lari 100 meter." jawab Takuma.
"Itu sama halnya dengan menemanimu bunuh diri." jawab Kou. "Aku tidak bisa melakukannya." Kou berjalan pergi meninggalkan Takuma.
"Jika aku kalah, Mayu akan menjadi milikmu." seru Takuma. "Jika aku menang, jangan ganggu dia lagi. Aku tidak mau melihatmu bicara dengannya. Aku tidak mau melihatmu berjalan di jalan yang sama dengannya. Jangan berani memandangnya jika kau bertemu dengannya di sekolah."
Kou berbalik, menatap Takuma dan menimbang sejenak.
Boku No Hatsukoi Kimi Ni Sasagu (Part 3)
Sinopsis Boku no Hatsukoi Kimi ni Sasagu
(I Give My First Love to You)
Part 3
Akhirnya Kou setuju berlomba lari melawan Takuma.
"Kalian berdua siap?" tanya seorang murid yang bertindak sebagai juri. "Lari lurus menuju garis finish."
Kou dan Takuma memasang kuda-kuda start.
"Bersedia! Siap! Go!" seru juri.
Kou dan Takuma mulai berlari. Takuma kalah jauh dibandingkan Kou.
"Demi gadis yang kucintai, Mayu, aku tidak akan mati." pikir Takuma dalam hatinya.
Takuma berlari sekuat tenaga mengejar hingga akhirnya bisa menyalip Kou.
Takuma menang.
"Kita sudah sepakat." kata Takuma, terengah-engah. "Menjauh dari Mayu." Ia terjatuh dan berbaring di tanah. "Ah, sudah lama aku tidak lari. Rasanya menyenangkan. Sangat menyenangkan!"
Mayu duduk di kamarnya. Mendadak, terdengar bunyi kerikil beradu dengan kaca jendela.
Mayu membuka tirai dan jendela. Rupanya Takuma yang melempar kerikil ke kaca jendela kamar Mayu.
"Takuma, apa yang kau lakukan?" tanya Mayu.
"Yo!" sapa Takuma.
"Bukan 'Yo'." protes Mayu. "Ini asrama putri."
"Selamat malam, Yuiko." sapa Takuma.
"Selamat malam."
"Mayu!" panggil Takuma. "Bulan sangat indah. Ayo berkencan."
"Hah?"
"Ayo!"
"Bukankah kita sudah putus?" tanya Mayu.
"Benarkah?" Takuma bertanya balik. "Kapan itu? Aku tidak ingat."
"Kenapa dia? Apa dia mempermainkan aku?" gumam Mayu.
Mayu turun menemui Takuma. "Ini sudah terlalu malam untuk berkencan."
Takuma menggandeng Mayu dan mengajaknya ke klub memanah.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikut klub memanah." kata Takuma. "Kurasa akan sangat menyenangkan bergabung dikegiatan apapun bersamamu. Ditambah lagi, seragam memanah menunjukkan sisi feminimmu."
"Karena itu? Dasar bodoh!" gumam Mayu.
Takuma mengambil salah satu busur dan mencobanya.
"Itu salah." protes Mayu. "Kau harus membuka dadamu."
"Seperti ini?" tanya Takuma, mencontohkan.
Mayu menggeleng dan mendekati Takuma untuk membantunya. "Pegang seperti ini." katanya.
"Mayu..." ujar Takuma pelan. "Apakah tidak apa-apa jika kita bercinta?"
"Apa?"
"Hadiah untukku karena menang." ujar Takuma.
"Apa yang kau menangkan?" tanya Mayu bingung.
"Hadiah karena aku masih hidup." kata Takuma.
Mayu menunduk.
"Aku ingin bercinta denganmu, Mayu." kata Takuma, menghadap Mayu. Ia memeluk Mayu dengan erat.
"Takuma, Hentikan! Kita tidak bisa." tolak Mayu, berusaha melepaskan diri dari Takuma. "Tidak disini."
"Tapi aku ingin." kata Takuma, mencium Mayu dengan paksa.
Karena Mayu terus menerus meronta, Takuma melepaskannya. Tapi begitu Takuma melepaskannya, Mayu malah mencium Takuma.
Ok, that's first night between those two, in archery club.
Keesokkan harinya, Takuma melompati pagar sekolah lagi.
"Kau mau kemana?" tanya Mayu.
"Makam Teru." jawab Takuma. "Dokter Taneda mengatakan padaku dimana tempatnya. Kau mau ikut?"
"Aku ikut." kata Mayu seraya melompati pagar tanaman.
"Kakinouchi." panggil Kou. Entah kenapa mendadak ia ada di samping mereka, ikut melompat pagar. "Sebenarnya, aku sudah punya pacar dari luar sekolah. Dia sangat seksi. Pasti sekolah akan gempar jika tahu aku sudah memiliki pacar yang luar biasa. Sekarang, aku ingin menemuinya." Kou diam sejenak. "Kalian tahu, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di sekolah."
Takuma dan Mayu menunduk diam.
"Apakah tidak apa-apa, kau menceritakan rahasia besarmu pada kami?" tanya Takuma, mengalihkan pembicaraan.
"Kau dan Tuan Putri adalah pengecualian." jawab Kou. "Aku masih menyukai Tuan Putri. Di luar itu... Kakinouchi, ayo kita berteman."
"Apa?"
"Ini pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada laki-laki." kata Kou, tertawa. "Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar."
Mayu dan Takuma mengunjungi makan Teru.
"Sejak masih kecil, aku sudah diberitahu bahwa aku akan mati." kata Takuma. "Mereka mengatakan padaku bahwa aku tidak akan hidup lebih dari umur 20."
Saat senja, Kou pergi dari tempat pacarnya. Pacarnya melambaikan tangan senang.
Kou berjalan sendirian.
Suara di pembatas jalan dan rel kereta api berbunyi, pertanda bahwa kereta akan segera lewat.
Kou terkejut dan bergegas berlari terburu-buru melewati rel.
Begitu lewat, Kou berhenti karena menghindari sepeda. Tanpa ia sadari, sebuah truk besar berjalan cepat dan menabrak Kou.
"Hari ini, ada seorang pemuda yang dibawa kemari karena kecelakaan." ujar Dr. Taneda pada Takuma dan kedua orang tuanya. "Ia memiliki kartu donor. Kami sudah menghubungi Asosiasi Donasi Organ. Mereka memutuskan bahwa jantungnya akan didonorkan pada Takuma. Tapi tentu saja, kami harus mendapat persetujuan dari keluarganya terlebih dulu. Kita sudah menunggu lama untuk ini, tapi akhirnya kita bisa memberi Takuma jantung pengganti."
Kedua orang tua Takuma menunduk berterima kasih.
"Takuma, operasi akan dilakukan lusa." ujar Dokter. "Kau harus cukup istirahat untuk mempersiapkan operasi. Jangan keluar dari ruangan ini."
Takuma tersenyum lega. "Dokter Taneda, setelah operasi, apakah aku boleh lari? Apakah aku boleh memakan makanan apapun yang kusuka? Aku bisa masuk ke universitas? Aku bisa menikah? Bisakah aku melakukan semua itu?"
"Tentu saja." jawab Dokter. "Mulai saat itu, kau bisa menjalani hidup yang kau suka."
Takuma menangis.
Mayu duduk sendirian di atap rumah sakit, menunggu Takuma. Tidak lama kemudian, ia turun dan tidak sengaja melihat teman-teman sekolahnya berjalan lewat sambil menangis.
"Ada apa?" tanya Mayu.
"Taneda, kau ada disini juga?" tanya salah seorang murid perempuan. "Apa kau belum dengar? Kou mengalami kecelakaan. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyadarkannya."
"Mereka bilang, otaknya sudah mati." tangis seorang murid.
Mayu terkejut.
Mayu bergegas menemui ayahnya.
"Ada apa, Mayu?" tanya Dokter Taneda.
"Orang yang mendonorkan jantungnya pada Takuma... bukan dia, kan?" tanya Mayu.
Dokter diam sejenak. "Kau tidak perlu memikirkan itu. Pergi dan temani Takuma."
Di sebuah kamar ICU rumah sakit, Kou tidak juga sadar dan dalam kondisi kritis.
"Kau mengikuti program donor?" ujar Kakek pada Kou, walaupun Kou mungkin tidak bisa mendengarnya. "Apa aku melakukan ini untuk mewujudkan mimpi ayahmu karena ia mati sebelum mendapat donor jantung?"
Ibu Kou menangis.
"Aku selalu mengatakan hal yang kejam padamu." tangis Kakek, menyesal. "Aku pernah mengatakan bahwa kau orang yang menjengkelkan. Tapi, kau adalah anak yang penuh pengertian. Aku mengerti. Jantungmu akan terus hidup."
Mayu mengintip Takuma dari luar kamarnya. Takuma sedang berbincang dengan orang tuanya mengenai makanan apa saja yang ingin ia makan setelah sembuh.
Mayu hanya diam dan berdiri di luar kamar.
"Mayu." panggil Takuma. "Lusa aku akan operasi."
Mayu tersenyum. "Selamat ya!"
"Terima kasih." jawab Takuma senang. "Aku sungguh berharap operasi ini lebih cepat. Ayo pergi ke kolam renang setelah operasi ini berhasil."
"Kolam renang?"
"Aku ingin melihatmu dengan pakaian renang."
Mayu tertawa.
Keesokkan harinya, Mayu berjalan perlahan melewati ruang ICU. Ia melihat beberapa teman sekolahnya berlari masuk ke ruang tersebut.
Mayu menjenguk Takuma dan bermain kartu dengannya.
"Aku tahu peraturan mengenai transplantasi, tapi Dr. Taneda tidak mau mengatakan apapun mengenai pendonor." kata Takuma. "Aku hanya ingin berterima kasih pada keluarga pendonor."
Takuma bangkit dari duduknya.
"Mau kemana kau?" seru Mayu cemas.
"Ke toilet." jawab Takuma.
Mayu mengangguk.
"Ada seorang murid dari sekolah kita yang dibawa kemari." kata Takuma dari dalam toilet. "Apa kau tahu sesuatu mengenai itu?"
"Apa?"
"Ketika aku melihat keluar pagi ini, ada beberapa murid yang mengenakan seragam sekolah kita datang kemari." kata Takuma.
"Aku tidak tahu." kata Mayu berbohong. "Mungkin kakak kelas kita?"
"Mungkin."
Lagi-lagi Mayu berdiri di depan ruang ICU, mencoba memberanikan diri untuk masuk.
Akhirnya Mayu berani masuk dan mengintip ke kamar Kou. Ada beberapa murid perempuan disana.
Di lain pihak, beberapa murid laki-laki masuk ke kamar Takuma.
"Apakah kita salah masuk kamar?" tanya salah seorang dari mereka. "Tapi dia juga dari sekolah kita."
"Siapa lagi yang dirawat di rumah sakit ini?" tanya Takuma.
"Suzuya Kou dari kelas kami." jawab mereka. "Dia mengalami kecelakaan. Mereka bilang, ia tidak mungkin sembuh."
Takuma terkejut dan langsung berlari keluar.
Ibu Kou menoleh ke luar jendela dan melihat Mayu berdiri diam disana. Begitu ibu Kou melihatnya, Mayu bergegas berlari takut.
Takuma berlari menuruni tangga dan berpapasan dengan Mayu.
"Kau tahu?" tanya Takuma.
Mayu menunduk diam.
"Kau tahu! Kau dan Dr. Taneda tahu!" seru Takuma. "Karena itulah ia melarangku pergi keluar kamar!"
"Aku tidak tahu!" seru Mayu. "Itu hanya kebetulan!"
"Kau hanya beralasan!"seru Takuma. "Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku, tapi aku tidak akan mau menerima operasi. Aku tidak bisa menerima jantung temanku hanya untuk menyelamatkan nyawaku sendiri."
"Tapi tidak apa-apa jika jantung itu milik orang yang tidak kau kenal?" tanya Mayu. "Tadi malam kau sangat senang. Memangnya apa masalahnya jika itu jantung milik siapa? Yang penting adalah kau bisa selamat." Mayu menangis. "Bagiku, itu sudah cukup."
Takuma diam.
"Aku tidak akan membiarkanmu menolak operasi!" seru Mayu. "Jika kau mati aku akan..."
"Mayu!" teriak Takuma, memotong ucapan Mayu. "Jika kau bicara lagi, aku benar-benar akan membencimu."
Mayu diam, menangis.
"Kau dan Dr. Taneda tidak mengerti." kata Takuma. "Apa artinya kematian? Bagaimana mengerikannya kematian? Rasanya mungkin sama untuknya. Mayu, apa artinya hidup? Haruskah aku mencuri jantung temanku hanya untuk hidup lebih lama? Aku tidak bisa melakukannya."
Dalam tidurnya, Kou menangis.
"Apa maksudmu tidak mau melakukan operasi?" tanya Ibu Takuma. "Takuma, apa yang terjadi? Kenapa kau memutuskan seperti ini?"
Takuma tidak mau menjelaskan dan menyembunyikan dirinya dibalik selimut.
"Takuma!"
Ibu Kou melapor pada Dokter Taneda bahwa putranya mengeluarkan air mata.
"Itu bukan kejadian tidak biasa jika putramu mengeluarkan air mata." jawab Dokter. "Itu hanya refleks. Maafkan aku."
"Dokter, masih bisakah aku membatalkan operasi putraku?" tanya Ibu Kou. "Aku sungguh minta maaf. Otak putraku mungkin sudah mati, tapi aku adalah ibunya. Aku akan menolak operasi."
Dokter Taneda sangat terpukul mendengarnya.
Dokter Taneda menyampaikan informasi tersebut pada Takuma, Mayu dan kedua orang tua Takuma bahwa pihak keluarga Kou tidak memberi izin pendonoran jantung Kou.
Kedua orang tua Takuma dan Mayu sangat terpukul sementara Takuma hanya diam tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Aku tidak bisa menerima ini!" seru Ayah Takuma. "Mereka harus memberi..."
"Ayah!" seru Takuma. "Tidak apa-apa. Dr. Taneda, bisakah aku keluar dari rumah sakit sekarang? Aku ingin kembali ke sekolah. Mayu, ayo kembali bersama."
Takuma turun dari tempat tidur.
Takuma dan Mayu duduk diam di dalam bus.
"Takuma, kau tidak boleh menyerah." kata Mayu pelan. "Aku tidak akan membiarkanmu bersiap mati. Tidak akan."
Takuma tersenyum. "Ini aneh." katanya. "Ketika kau mengatakan itu, rasa sakit di dadaku lenyap."
Mayu tertawa. "Karena aku adalah obatmu."
Pagi di asrama, Takuma hanya duduk diam. Sepertinya ia menahan sakit dan wajahnya pucat.
"Perlukah aku melaporkan pada guru mengenai kondisimu?" tanya Ritsu.
"Hari ini aku ingin tidur saja." kata Takuma.
"Beristirahatlah kalau begitu." Ritsu keluar dari kamar, bersekolah.
Malamnya, Mayu berlari sekuat tenaga begitu mengetahui kondisi Takuma yang kritis. Ia memanggil ambulans dan membawa Takuma ke rumah sakit.
"Takuma!" teriak Mayu panik. "Takuma!"
Dr. Taneda dan krunya bergegas berusaha keras menyelamatkan Takuma.
"Kalian berdua siap?" tanya seorang murid yang bertindak sebagai juri. "Lari lurus menuju garis finish."
Kou dan Takuma memasang kuda-kuda start.
"Bersedia! Siap! Go!" seru juri.
Kou dan Takuma mulai berlari. Takuma kalah jauh dibandingkan Kou.
"Demi gadis yang kucintai, Mayu, aku tidak akan mati." pikir Takuma dalam hatinya.
Takuma berlari sekuat tenaga mengejar hingga akhirnya bisa menyalip Kou.
Takuma menang.
"Kita sudah sepakat." kata Takuma, terengah-engah. "Menjauh dari Mayu." Ia terjatuh dan berbaring di tanah. "Ah, sudah lama aku tidak lari. Rasanya menyenangkan. Sangat menyenangkan!"
Mayu duduk di kamarnya. Mendadak, terdengar bunyi kerikil beradu dengan kaca jendela.
Mayu membuka tirai dan jendela. Rupanya Takuma yang melempar kerikil ke kaca jendela kamar Mayu.
"Takuma, apa yang kau lakukan?" tanya Mayu.
"Yo!" sapa Takuma.
"Bukan 'Yo'." protes Mayu. "Ini asrama putri."
"Selamat malam, Yuiko." sapa Takuma.
"Selamat malam."
"Mayu!" panggil Takuma. "Bulan sangat indah. Ayo berkencan."
"Hah?"
"Ayo!"
"Bukankah kita sudah putus?" tanya Mayu.
"Benarkah?" Takuma bertanya balik. "Kapan itu? Aku tidak ingat."
"Kenapa dia? Apa dia mempermainkan aku?" gumam Mayu.
Mayu turun menemui Takuma. "Ini sudah terlalu malam untuk berkencan."
Takuma menggandeng Mayu dan mengajaknya ke klub memanah.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikut klub memanah." kata Takuma. "Kurasa akan sangat menyenangkan bergabung dikegiatan apapun bersamamu. Ditambah lagi, seragam memanah menunjukkan sisi feminimmu."
"Karena itu? Dasar bodoh!" gumam Mayu.
Takuma mengambil salah satu busur dan mencobanya.
"Itu salah." protes Mayu. "Kau harus membuka dadamu."
"Seperti ini?" tanya Takuma, mencontohkan.
Mayu menggeleng dan mendekati Takuma untuk membantunya. "Pegang seperti ini." katanya.
"Mayu..." ujar Takuma pelan. "Apakah tidak apa-apa jika kita bercinta?"
"Apa?"
"Hadiah untukku karena menang." ujar Takuma.
"Apa yang kau menangkan?" tanya Mayu bingung.
"Hadiah karena aku masih hidup." kata Takuma.
Mayu menunduk.
"Aku ingin bercinta denganmu, Mayu." kata Takuma, menghadap Mayu. Ia memeluk Mayu dengan erat.
"Takuma, Hentikan! Kita tidak bisa." tolak Mayu, berusaha melepaskan diri dari Takuma. "Tidak disini."
"Tapi aku ingin." kata Takuma, mencium Mayu dengan paksa.
Karena Mayu terus menerus meronta, Takuma melepaskannya. Tapi begitu Takuma melepaskannya, Mayu malah mencium Takuma.
Ok, that's first night between those two, in archery club.
Keesokkan harinya, Takuma melompati pagar sekolah lagi.
"Kau mau kemana?" tanya Mayu.
"Makam Teru." jawab Takuma. "Dokter Taneda mengatakan padaku dimana tempatnya. Kau mau ikut?"
"Aku ikut." kata Mayu seraya melompati pagar tanaman.
"Kakinouchi." panggil Kou. Entah kenapa mendadak ia ada di samping mereka, ikut melompat pagar. "Sebenarnya, aku sudah punya pacar dari luar sekolah. Dia sangat seksi. Pasti sekolah akan gempar jika tahu aku sudah memiliki pacar yang luar biasa. Sekarang, aku ingin menemuinya." Kou diam sejenak. "Kalian tahu, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di sekolah."
Takuma dan Mayu menunduk diam.
"Apakah tidak apa-apa, kau menceritakan rahasia besarmu pada kami?" tanya Takuma, mengalihkan pembicaraan.
"Kau dan Tuan Putri adalah pengecualian." jawab Kou. "Aku masih menyukai Tuan Putri. Di luar itu... Kakinouchi, ayo kita berteman."
"Apa?"
"Ini pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada laki-laki." kata Kou, tertawa. "Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar."
Mayu dan Takuma mengunjungi makan Teru.
"Sejak masih kecil, aku sudah diberitahu bahwa aku akan mati." kata Takuma. "Mereka mengatakan padaku bahwa aku tidak akan hidup lebih dari umur 20."
Saat senja, Kou pergi dari tempat pacarnya. Pacarnya melambaikan tangan senang.
Kou berjalan sendirian.
Suara di pembatas jalan dan rel kereta api berbunyi, pertanda bahwa kereta akan segera lewat.
Kou terkejut dan bergegas berlari terburu-buru melewati rel.
Begitu lewat, Kou berhenti karena menghindari sepeda. Tanpa ia sadari, sebuah truk besar berjalan cepat dan menabrak Kou.
"Hari ini, ada seorang pemuda yang dibawa kemari karena kecelakaan." ujar Dr. Taneda pada Takuma dan kedua orang tuanya. "Ia memiliki kartu donor. Kami sudah menghubungi Asosiasi Donasi Organ. Mereka memutuskan bahwa jantungnya akan didonorkan pada Takuma. Tapi tentu saja, kami harus mendapat persetujuan dari keluarganya terlebih dulu. Kita sudah menunggu lama untuk ini, tapi akhirnya kita bisa memberi Takuma jantung pengganti."
Kedua orang tua Takuma menunduk berterima kasih.
"Takuma, operasi akan dilakukan lusa." ujar Dokter. "Kau harus cukup istirahat untuk mempersiapkan operasi. Jangan keluar dari ruangan ini."
Takuma tersenyum lega. "Dokter Taneda, setelah operasi, apakah aku boleh lari? Apakah aku boleh memakan makanan apapun yang kusuka? Aku bisa masuk ke universitas? Aku bisa menikah? Bisakah aku melakukan semua itu?"
"Tentu saja." jawab Dokter. "Mulai saat itu, kau bisa menjalani hidup yang kau suka."
Takuma menangis.
Mayu duduk sendirian di atap rumah sakit, menunggu Takuma. Tidak lama kemudian, ia turun dan tidak sengaja melihat teman-teman sekolahnya berjalan lewat sambil menangis.
"Ada apa?" tanya Mayu.
"Taneda, kau ada disini juga?" tanya salah seorang murid perempuan. "Apa kau belum dengar? Kou mengalami kecelakaan. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyadarkannya."
"Mereka bilang, otaknya sudah mati." tangis seorang murid.
Mayu terkejut.
Mayu bergegas menemui ayahnya.
"Ada apa, Mayu?" tanya Dokter Taneda.
"Orang yang mendonorkan jantungnya pada Takuma... bukan dia, kan?" tanya Mayu.
Dokter diam sejenak. "Kau tidak perlu memikirkan itu. Pergi dan temani Takuma."
Di sebuah kamar ICU rumah sakit, Kou tidak juga sadar dan dalam kondisi kritis.
"Kau mengikuti program donor?" ujar Kakek pada Kou, walaupun Kou mungkin tidak bisa mendengarnya. "Apa aku melakukan ini untuk mewujudkan mimpi ayahmu karena ia mati sebelum mendapat donor jantung?"
Ibu Kou menangis.
"Aku selalu mengatakan hal yang kejam padamu." tangis Kakek, menyesal. "Aku pernah mengatakan bahwa kau orang yang menjengkelkan. Tapi, kau adalah anak yang penuh pengertian. Aku mengerti. Jantungmu akan terus hidup."
Mayu mengintip Takuma dari luar kamarnya. Takuma sedang berbincang dengan orang tuanya mengenai makanan apa saja yang ingin ia makan setelah sembuh.
Mayu hanya diam dan berdiri di luar kamar.
"Mayu." panggil Takuma. "Lusa aku akan operasi."
Mayu tersenyum. "Selamat ya!"
"Terima kasih." jawab Takuma senang. "Aku sungguh berharap operasi ini lebih cepat. Ayo pergi ke kolam renang setelah operasi ini berhasil."
"Kolam renang?"
"Aku ingin melihatmu dengan pakaian renang."
Mayu tertawa.
Keesokkan harinya, Mayu berjalan perlahan melewati ruang ICU. Ia melihat beberapa teman sekolahnya berlari masuk ke ruang tersebut.
Mayu menjenguk Takuma dan bermain kartu dengannya.
"Aku tahu peraturan mengenai transplantasi, tapi Dr. Taneda tidak mau mengatakan apapun mengenai pendonor." kata Takuma. "Aku hanya ingin berterima kasih pada keluarga pendonor."
Takuma bangkit dari duduknya.
"Mau kemana kau?" seru Mayu cemas.
"Ke toilet." jawab Takuma.
Mayu mengangguk.
"Ada seorang murid dari sekolah kita yang dibawa kemari." kata Takuma dari dalam toilet. "Apa kau tahu sesuatu mengenai itu?"
"Apa?"
"Ketika aku melihat keluar pagi ini, ada beberapa murid yang mengenakan seragam sekolah kita datang kemari." kata Takuma.
"Aku tidak tahu." kata Mayu berbohong. "Mungkin kakak kelas kita?"
"Mungkin."
Lagi-lagi Mayu berdiri di depan ruang ICU, mencoba memberanikan diri untuk masuk.
Akhirnya Mayu berani masuk dan mengintip ke kamar Kou. Ada beberapa murid perempuan disana.
Di lain pihak, beberapa murid laki-laki masuk ke kamar Takuma.
"Apakah kita salah masuk kamar?" tanya salah seorang dari mereka. "Tapi dia juga dari sekolah kita."
"Siapa lagi yang dirawat di rumah sakit ini?" tanya Takuma.
"Suzuya Kou dari kelas kami." jawab mereka. "Dia mengalami kecelakaan. Mereka bilang, ia tidak mungkin sembuh."
Takuma terkejut dan langsung berlari keluar.
Ibu Kou menoleh ke luar jendela dan melihat Mayu berdiri diam disana. Begitu ibu Kou melihatnya, Mayu bergegas berlari takut.
Takuma berlari menuruni tangga dan berpapasan dengan Mayu.
"Kau tahu?" tanya Takuma.
Mayu menunduk diam.
"Kau tahu! Kau dan Dr. Taneda tahu!" seru Takuma. "Karena itulah ia melarangku pergi keluar kamar!"
"Aku tidak tahu!" seru Mayu. "Itu hanya kebetulan!"
"Kau hanya beralasan!"seru Takuma. "Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku, tapi aku tidak akan mau menerima operasi. Aku tidak bisa menerima jantung temanku hanya untuk menyelamatkan nyawaku sendiri."
"Tapi tidak apa-apa jika jantung itu milik orang yang tidak kau kenal?" tanya Mayu. "Tadi malam kau sangat senang. Memangnya apa masalahnya jika itu jantung milik siapa? Yang penting adalah kau bisa selamat." Mayu menangis. "Bagiku, itu sudah cukup."
Takuma diam.
"Aku tidak akan membiarkanmu menolak operasi!" seru Mayu. "Jika kau mati aku akan..."
"Mayu!" teriak Takuma, memotong ucapan Mayu. "Jika kau bicara lagi, aku benar-benar akan membencimu."
Mayu diam, menangis.
"Kau dan Dr. Taneda tidak mengerti." kata Takuma. "Apa artinya kematian? Bagaimana mengerikannya kematian? Rasanya mungkin sama untuknya. Mayu, apa artinya hidup? Haruskah aku mencuri jantung temanku hanya untuk hidup lebih lama? Aku tidak bisa melakukannya."
Dalam tidurnya, Kou menangis.
"Apa maksudmu tidak mau melakukan operasi?" tanya Ibu Takuma. "Takuma, apa yang terjadi? Kenapa kau memutuskan seperti ini?"
Takuma tidak mau menjelaskan dan menyembunyikan dirinya dibalik selimut.
"Takuma!"
Ibu Kou melapor pada Dokter Taneda bahwa putranya mengeluarkan air mata.
"Itu bukan kejadian tidak biasa jika putramu mengeluarkan air mata." jawab Dokter. "Itu hanya refleks. Maafkan aku."
"Dokter, masih bisakah aku membatalkan operasi putraku?" tanya Ibu Kou. "Aku sungguh minta maaf. Otak putraku mungkin sudah mati, tapi aku adalah ibunya. Aku akan menolak operasi."
Dokter Taneda sangat terpukul mendengarnya.
Dokter Taneda menyampaikan informasi tersebut pada Takuma, Mayu dan kedua orang tua Takuma bahwa pihak keluarga Kou tidak memberi izin pendonoran jantung Kou.
Kedua orang tua Takuma dan Mayu sangat terpukul sementara Takuma hanya diam tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Aku tidak bisa menerima ini!" seru Ayah Takuma. "Mereka harus memberi..."
"Ayah!" seru Takuma. "Tidak apa-apa. Dr. Taneda, bisakah aku keluar dari rumah sakit sekarang? Aku ingin kembali ke sekolah. Mayu, ayo kembali bersama."
Takuma turun dari tempat tidur.
Takuma dan Mayu duduk diam di dalam bus.
"Takuma, kau tidak boleh menyerah." kata Mayu pelan. "Aku tidak akan membiarkanmu bersiap mati. Tidak akan."
Takuma tersenyum. "Ini aneh." katanya. "Ketika kau mengatakan itu, rasa sakit di dadaku lenyap."
Mayu tertawa. "Karena aku adalah obatmu."
Pagi di asrama, Takuma hanya duduk diam. Sepertinya ia menahan sakit dan wajahnya pucat.
"Perlukah aku melaporkan pada guru mengenai kondisimu?" tanya Ritsu.
"Hari ini aku ingin tidur saja." kata Takuma.
"Beristirahatlah kalau begitu." Ritsu keluar dari kamar, bersekolah.
Malamnya, Mayu berlari sekuat tenaga begitu mengetahui kondisi Takuma yang kritis. Ia memanggil ambulans dan membawa Takuma ke rumah sakit.
"Takuma!" teriak Mayu panik. "Takuma!"
Dr. Taneda dan krunya bergegas berusaha keras menyelamatkan Takuma.
Boku No Hatsukoi Kimi Ni Sasagu (Part 4-Tamat)
Sinopsis Boku no Hatsukoi Kimi ni Sasagu
(I Give My First Love to You)
Part 4 (Final)
Mayu dan kedua orang tua Takuma menunggu dengan cemas di depan ruang operasi.
Beberapa saat kemudian, Dr. Taneda keluar. "Masuklah." katanya pada kedua orang tua Takuma. "Aku takut mungkin ini adalah saat-saat terakhirnya."
Ibu Takuma menangis keras. Ayah Takuma menuntunya masuk.
"Ayah..." gumam Mayu pelan.
"Masuklah." ujar Dr. Taneda. "Kau juga harus bersamanya."
Perlahan, Mayu masuk ke dalam ruangan.
"Takuma, maafkan ibu." tangis Ibu Takuma. "Seharusnya ibu menjagamu lebih baik. Maafkan ibu."
"Takuma, rasanya menyakitkan, bukan?" tanya Ayah sedih. "Tapi kau sudah berusaha keras."
"Tidak, tidak, tidak, tidak tidak..." tangis Mayu, melihat Takuma, kemudian berlari keluar.
"Kumohon padamu, kumohon padamu, kumohon padamu!" seru Mayu, menangis dan bersujud pada Ibu dan Kakek Kou. "Tolong berukan jantung Kou pada Takuma. Aku tahu aku mengatakan hal yang kejam, tapi jika terus seperti ini, Takuma bisa mati. Kumohon padamu, tolong berikan jantung Kou pada Takuma. Tolong selamatkan Takuma!"
Dr. Taneda masuk ke kamar Kou dan melihat putrinya dengan iba.
"Kumohon padamu, tolong selamatkan Takuma!" seru Mayu. "Kumohon.. Kumohon... Kumohon..."
Dr. Taneda berusaha menghentikan Mayu. "Hentikan. Hentikan."
Kakek Kou berlutut di depan Mayu. "Aku mengerti apa yang kau katakan." katanya. "Tapi saat ini, kami tidak bisa mengizinkan. Cucuku mengeluarkan air mata. Tadi pagi, ia menggerakkan jari-jarinya. Walaupun dokter mengatakan itu hanya refleks, tapi bagi kami, keluarganya, itu adalah secercah harapan. Ini adalah keajaiban. Mungkin ia akan bangun besok pagi dan bertanya, 'Kakek, dimana aku?'. Kami harus menggenggam keajaiban itu. Kau mengerti, bukan?"
Ibu Kou berjalan mendekati mereka. "Siapa Takuma?" tanyanya.
"Dia kekasihku." jawab Mayu lemah.
"Maafkan aku." tangis Ibu Kou. "Aku sungguh minta maaf."
Mayu keluar dan duduk seorang diri di lorong rumah sakit, menangis keras.
"Semanggi berdaun 4, apa artinya tetap hidup?" tanya Takuma. "Sekarang Mayu sedang menangis lagi. Tolonglah... beri aku waktu sedikit lagi. Waktu terakhir. Tolong biarkan aku hidup."
Takuma menggerakkan jari-jarinya, kemudian membuka matanya perlahan.
Saat Mayu berjalan gontai ke kamar Takuma, kamar tersebut sudah kosong.
Tidak lama kemudian, Takuma keluar dari toilet. "Yo, Mayu!" panggilnya. "Ini kesempatan kita sekarang. Saat aku bangun, Ibu dan Ayah sangat terkejut dan berlari menemui Dr. Taneda." Takuma mengambil jaket di lemari dan memakainya. "Oke, ayo kita pergi!"
"Pergi kemana?" tanya Mayu bingung.
"Apa maksudmu? Tentu saja bulan madu." jawab Takuma seraya berjalan keluar kamar.
Mayu mengejar Takuma. "Takuma, ini tidak baik untukmu! Ayo kembali!" serunya.
"Tidak, lihat! Cuaca sangat bagus hari ini!" bantah Takuma. "Kemana kau ingin pergi?"
"Takuma, dengarkan aku!" seru Mayu, menghentikan jalan Takuma.
"Kau sangat mengganggu." protes Takuma. "Aku sungguh baik-baik saja. Ini pertama kalinya aku merasa baik dalam beberapa waktu belakangan."
"Ini tidak benar, Takuma!" seru Mayu. "Kumohon padamu, kembalilah. Biarkan ayahku memeriksamu."
Takuma mendorong Mayu. "Kemana kita akan pergi berbulan madu?" tanyanya, mengacuhkan kata-kata Mayu.
"Bulan madu? Tapi kita belum menikah."
"Kita tidak perlu mengikuti aturan." ujar Takuma. "Aku akan membawamu kemanapun kau suka."
Takuma mengajak Mayu ke taman bermain. Mereka naik roller coaster, bombom car, menonton pertunjukkan lumba-lumba, pergi ke akuarium dan makan spaghetti.
Setelah puas bermain di taman bermain, Takuma mengajak Mayu pergi ke pantai dan bermain disana.
Berdesak-desakan di bus.
Kemudian duduk di bukit. Mayu bersandar ke bahu Takuma.
"Hari ini sangat menyenangkan." kata Mayu. "Kuharap hari lain seperti ini akan datang lagi."
Takuma terdiam sejenak dengan ekspresi sedih. "Mayu." panggilnya. "Sangat menyenangkan, bukan?"
"Ya." jawab Mayu, tersenyum.
"Sejak awal sampai hari ini."
Mayu terkejut dan mengangkat kepalanya menatap Takuma.
"Maafkan aku." ujar Takuma. "Aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Bahkan semanggi berdaun 4 bisa merasakan bahwa sekarang sudah mencapai batas waktuku. Ayo kembali ke rumah sakit."
Takuma mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya dan menyerakan kertas tersebut pada Mayu.
Mayu menerima kertas tersebut.
Takuma tersenyum. "Ayo, Mayu!"
Sesampainya di rumah sakit, Ibu Takuma menampar Mayu. "Kenapa kau membawa pasien keluar dari rumah sakit?!" bentaknya. "Kau tahu kondisi Takuma!"
"Tenang." ujar Ayah Takuma, membawa istrinya pergi.
Mayu melihat ke dalam ruangan. Dr. Taneda dan perawat melakukan perawatan dan pengobatan pada Takuma yang saat itu berada dalam kondisi kritis.
Takuma meninggal pada pukul 6.27 pagi.
"Maafkan aku." ujar Dr. Taneda. "Aku sungguh minta maaf dari hatiku yang terdalam."
Ibu dan Ayah Takuma menangis, mendekati jenazah putranya.
Mayu hanya berdiri diam di luar ruangan. Ayahnya menatapnya cemas.
Mayu berjalan pergi ke atap rumah sakit. Ia bersandar pada pagar dan memasukkan tangan dalam saku jaketnya. Ia mengeluarkan tangannya dan menemukan kertas pemberian Takuma.
Mayu membuka kertas tersebut.
"Untuk semua orang yang kucintai." tulis Takuma kecil. "Walaupun aku pergi, aku berharap kalian semua bahagia. Takuma."
Mayu tersenyum pahit membaca surat itu. Mayu terjatuh ke lantai dan menangis.
Mayu melihat-lihat kamar Takuma. Kamar tersebut sangat berantakan. Di dinding, Takuma menempel foto-fotonya bersama Mayu.
Ayah dan Ibu Takuma menyerahkan botol abu Takuma.
"Maafkan aku karena mengatakan hal yang egois." ujar Mayu.
"Tidak apa-apa." kata Ayah Takuma. "Aku yakin Takuma akan senang. Ia memang mengharapkan sesuatu seperti ini."
"Terima kasih banyak." ujar Mayu seraya beranjak pergi.
"Mayu." panggil Ibu Takuma. "Walaupun sampai sekarang aku belum sempat mengatakannya, tapi terima kasih. Kau memberi kesempatan pada putraku untuk merasakan cinta. Terima kasih."
Mayu tersenyum.
Dr. Taneda berjalan dan duduk di sebuah bangku taman menghadap gereja. Dari sana, ia bisa melihat gereja dengan jelas.
Di dalam gereja, Mayu berdiri seorang diri mengenakan baju pengantin. Ia memegang botol berisi abu Takuma.
"Takuma, mimpi kita akhirnya terwujud." ujar Mayu. "Tapi ini tidak mudah. Takuma, tetap hidup adalah hal yang menyedihkan. Tapi kau tahu, aku sama sekali tidak menyesal. Karena aku bertemu denganmu. Karena aku mencintaimu. Jika aku bertemu kau lagi atau jika sudah aku tahu resiko menyedihkan apa yang menantiku, aku akan tetap jatuh cinta padamu lagi."
Beberapa tahun sebelumnya, saat Takuma dan Mayu kecil pertama kali bertemu.
Mayu bediri di balik pohon, menunggu seseorang duduk di jebakan yang sudah dibuatnya.
Takuma datang dan duduk di bangku itu.
"Kenapa kau duduk disini?" tanya Mayu, keluar dari persembunyiannya. "Aku sedang akan mengolok-olok seorang wanita tua."
Takuma bangkit dan melihat belakang celananya kotor.
Mayu meminta Takuma mencoret-coret bangku, kemudian ia duduk diatasnya. Takuma bingung.
"Sekarang celanaku juga kotot." kata Mayu. "Kau akan memaafkan aku, bukan?"
"Untuk apa aku memaafkanmu?" tanya Takuma. "Sejak awal aku memang tidak marah."
"Walaupun aku melakukan itu padamu? Kenapa?"
"Aku tidak tahu." jawab Takuma polos.
"Siapa namamu?"
"Kakinouchi Takuma."
"Namaku Taneda Mayu." ujar Mayu, mengulurkan tangannya. "Senang berkenalan denganmu."
"Aku tidak menyesal." ujar Mayu. "Tidak peduli sebanyak apapun aku dilahirkan kembali, tidak peduli sebanyak apapun kita bertemu lagi, aku akan selalu jatuh cinta padamu."
TAMAT
Beberapa saat kemudian, Dr. Taneda keluar. "Masuklah." katanya pada kedua orang tua Takuma. "Aku takut mungkin ini adalah saat-saat terakhirnya."
Ibu Takuma menangis keras. Ayah Takuma menuntunya masuk.
"Ayah..." gumam Mayu pelan.
"Masuklah." ujar Dr. Taneda. "Kau juga harus bersamanya."
Perlahan, Mayu masuk ke dalam ruangan.
"Takuma, maafkan ibu." tangis Ibu Takuma. "Seharusnya ibu menjagamu lebih baik. Maafkan ibu."
"Takuma, rasanya menyakitkan, bukan?" tanya Ayah sedih. "Tapi kau sudah berusaha keras."
"Tidak, tidak, tidak, tidak tidak..." tangis Mayu, melihat Takuma, kemudian berlari keluar.
"Kumohon padamu, kumohon padamu, kumohon padamu!" seru Mayu, menangis dan bersujud pada Ibu dan Kakek Kou. "Tolong berukan jantung Kou pada Takuma. Aku tahu aku mengatakan hal yang kejam, tapi jika terus seperti ini, Takuma bisa mati. Kumohon padamu, tolong berikan jantung Kou pada Takuma. Tolong selamatkan Takuma!"
Dr. Taneda masuk ke kamar Kou dan melihat putrinya dengan iba.
"Kumohon padamu, tolong selamatkan Takuma!" seru Mayu. "Kumohon.. Kumohon... Kumohon..."
Dr. Taneda berusaha menghentikan Mayu. "Hentikan. Hentikan."
Kakek Kou berlutut di depan Mayu. "Aku mengerti apa yang kau katakan." katanya. "Tapi saat ini, kami tidak bisa mengizinkan. Cucuku mengeluarkan air mata. Tadi pagi, ia menggerakkan jari-jarinya. Walaupun dokter mengatakan itu hanya refleks, tapi bagi kami, keluarganya, itu adalah secercah harapan. Ini adalah keajaiban. Mungkin ia akan bangun besok pagi dan bertanya, 'Kakek, dimana aku?'. Kami harus menggenggam keajaiban itu. Kau mengerti, bukan?"
Ibu Kou berjalan mendekati mereka. "Siapa Takuma?" tanyanya.
"Dia kekasihku." jawab Mayu lemah.
"Maafkan aku." tangis Ibu Kou. "Aku sungguh minta maaf."
Mayu keluar dan duduk seorang diri di lorong rumah sakit, menangis keras.
"Semanggi berdaun 4, apa artinya tetap hidup?" tanya Takuma. "Sekarang Mayu sedang menangis lagi. Tolonglah... beri aku waktu sedikit lagi. Waktu terakhir. Tolong biarkan aku hidup."
Takuma menggerakkan jari-jarinya, kemudian membuka matanya perlahan.
Saat Mayu berjalan gontai ke kamar Takuma, kamar tersebut sudah kosong.
Tidak lama kemudian, Takuma keluar dari toilet. "Yo, Mayu!" panggilnya. "Ini kesempatan kita sekarang. Saat aku bangun, Ibu dan Ayah sangat terkejut dan berlari menemui Dr. Taneda." Takuma mengambil jaket di lemari dan memakainya. "Oke, ayo kita pergi!"
"Pergi kemana?" tanya Mayu bingung.
"Apa maksudmu? Tentu saja bulan madu." jawab Takuma seraya berjalan keluar kamar.
Mayu mengejar Takuma. "Takuma, ini tidak baik untukmu! Ayo kembali!" serunya.
"Tidak, lihat! Cuaca sangat bagus hari ini!" bantah Takuma. "Kemana kau ingin pergi?"
"Takuma, dengarkan aku!" seru Mayu, menghentikan jalan Takuma.
"Kau sangat mengganggu." protes Takuma. "Aku sungguh baik-baik saja. Ini pertama kalinya aku merasa baik dalam beberapa waktu belakangan."
"Ini tidak benar, Takuma!" seru Mayu. "Kumohon padamu, kembalilah. Biarkan ayahku memeriksamu."
Takuma mendorong Mayu. "Kemana kita akan pergi berbulan madu?" tanyanya, mengacuhkan kata-kata Mayu.
"Bulan madu? Tapi kita belum menikah."
"Kita tidak perlu mengikuti aturan." ujar Takuma. "Aku akan membawamu kemanapun kau suka."
Takuma mengajak Mayu ke taman bermain. Mereka naik roller coaster, bombom car, menonton pertunjukkan lumba-lumba, pergi ke akuarium dan makan spaghetti.
Setelah puas bermain di taman bermain, Takuma mengajak Mayu pergi ke pantai dan bermain disana.
Berdesak-desakan di bus.
Kemudian duduk di bukit. Mayu bersandar ke bahu Takuma.
"Hari ini sangat menyenangkan." kata Mayu. "Kuharap hari lain seperti ini akan datang lagi."
Takuma terdiam sejenak dengan ekspresi sedih. "Mayu." panggilnya. "Sangat menyenangkan, bukan?"
"Ya." jawab Mayu, tersenyum.
"Sejak awal sampai hari ini."
Mayu terkejut dan mengangkat kepalanya menatap Takuma.
"Maafkan aku." ujar Takuma. "Aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Bahkan semanggi berdaun 4 bisa merasakan bahwa sekarang sudah mencapai batas waktuku. Ayo kembali ke rumah sakit."
Takuma mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya dan menyerakan kertas tersebut pada Mayu.
Mayu menerima kertas tersebut.
Takuma tersenyum. "Ayo, Mayu!"
Sesampainya di rumah sakit, Ibu Takuma menampar Mayu. "Kenapa kau membawa pasien keluar dari rumah sakit?!" bentaknya. "Kau tahu kondisi Takuma!"
"Tenang." ujar Ayah Takuma, membawa istrinya pergi.
Mayu melihat ke dalam ruangan. Dr. Taneda dan perawat melakukan perawatan dan pengobatan pada Takuma yang saat itu berada dalam kondisi kritis.
Takuma meninggal pada pukul 6.27 pagi.
"Maafkan aku." ujar Dr. Taneda. "Aku sungguh minta maaf dari hatiku yang terdalam."
Ibu dan Ayah Takuma menangis, mendekati jenazah putranya.
Mayu hanya berdiri diam di luar ruangan. Ayahnya menatapnya cemas.
Mayu berjalan pergi ke atap rumah sakit. Ia bersandar pada pagar dan memasukkan tangan dalam saku jaketnya. Ia mengeluarkan tangannya dan menemukan kertas pemberian Takuma.
Mayu membuka kertas tersebut.
"Untuk semua orang yang kucintai." tulis Takuma kecil. "Walaupun aku pergi, aku berharap kalian semua bahagia. Takuma."
Mayu tersenyum pahit membaca surat itu. Mayu terjatuh ke lantai dan menangis.
Mayu melihat-lihat kamar Takuma. Kamar tersebut sangat berantakan. Di dinding, Takuma menempel foto-fotonya bersama Mayu.
Ayah dan Ibu Takuma menyerahkan botol abu Takuma.
"Maafkan aku karena mengatakan hal yang egois." ujar Mayu.
"Tidak apa-apa." kata Ayah Takuma. "Aku yakin Takuma akan senang. Ia memang mengharapkan sesuatu seperti ini."
"Terima kasih banyak." ujar Mayu seraya beranjak pergi.
"Mayu." panggil Ibu Takuma. "Walaupun sampai sekarang aku belum sempat mengatakannya, tapi terima kasih. Kau memberi kesempatan pada putraku untuk merasakan cinta. Terima kasih."
Mayu tersenyum.
Dr. Taneda berjalan dan duduk di sebuah bangku taman menghadap gereja. Dari sana, ia bisa melihat gereja dengan jelas.
Di dalam gereja, Mayu berdiri seorang diri mengenakan baju pengantin. Ia memegang botol berisi abu Takuma.
"Takuma, mimpi kita akhirnya terwujud." ujar Mayu. "Tapi ini tidak mudah. Takuma, tetap hidup adalah hal yang menyedihkan. Tapi kau tahu, aku sama sekali tidak menyesal. Karena aku bertemu denganmu. Karena aku mencintaimu. Jika aku bertemu kau lagi atau jika sudah aku tahu resiko menyedihkan apa yang menantiku, aku akan tetap jatuh cinta padamu lagi."
Beberapa tahun sebelumnya, saat Takuma dan Mayu kecil pertama kali bertemu.
Mayu bediri di balik pohon, menunggu seseorang duduk di jebakan yang sudah dibuatnya.
Takuma datang dan duduk di bangku itu.
"Kenapa kau duduk disini?" tanya Mayu, keluar dari persembunyiannya. "Aku sedang akan mengolok-olok seorang wanita tua."
Takuma bangkit dan melihat belakang celananya kotor.
Mayu meminta Takuma mencoret-coret bangku, kemudian ia duduk diatasnya. Takuma bingung.
"Sekarang celanaku juga kotot." kata Mayu. "Kau akan memaafkan aku, bukan?"
"Untuk apa aku memaafkanmu?" tanya Takuma. "Sejak awal aku memang tidak marah."
"Walaupun aku melakukan itu padamu? Kenapa?"
"Aku tidak tahu." jawab Takuma polos.
"Siapa namamu?"
"Kakinouchi Takuma."
"Namaku Taneda Mayu." ujar Mayu, mengulurkan tangannya. "Senang berkenalan denganmu."
"Aku tidak menyesal." ujar Mayu. "Tidak peduli sebanyak apapun aku dilahirkan kembali, tidak peduli sebanyak apapun kita bertemu lagi, aku akan selalu jatuh cinta padamu."
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar