Sabtu, 24 September 2011
Orang jepang tidak Gila gelar gimana dengan sebagian dari orang indonesia?
Ada satu hal yang saya sukai dari ilmuwan di Jepang, yaitu kebiasaannya untuk tidak menuliskan gelar. Jika ada seminar atau kuliah umum yang diadakan di kampus, sehebat apapun profesor yang akan diundang untuk berbicara, belum pernah saya melihat ada embel-embel gelar di depan atau di belakang namanya. Tetapi lain halnya jika yang diundang berbicara adalah profesor dari luar Jepang, maka biasanya dilengkapi dengan embel-embel.
Kehebatan para peneliti di Jepang bukan dilihat dari banyaknya gelar yang dipunyainya. Saya mengenal beberapa orang profesor yang telah mendalami dan mengikuti program pendidikan dari berbagai major (bidang/ jurusan) yang terkait dengan penelitiannya, tetapi namanya tidak semakin panjang dengan gelar-gelar yang didapatnya.
Di Jepang tidak ada istilah guru besar. Sehingga para dosen tidak perlu disibukkan dengan mengejar target ini itu untuk mendapatkan gelar ini. Oleh karenanya saya melihat mereka lebih enjoy melakukan penelitian apa saja yang diinginkannya. Seorang asisten profesor yang saya kenal di kampus, jika melihat hasil penelitian dan tulisan-tulisannya yang tersebar di jurnal Jepang dan internasional, seandainya dia berada di Indonesia, dengan mudahnya dia akan mendapatkan gelar guru besar. Tetapi tidak dengan di Jepang, statusnya tetap sebagai asisten profesor sekalipun menurut saya dia layak sekali disebut profesor, dan bukan asisten.
Seorang teman menulis email di sebuah milis, di dalam embel-embel pengirim dicantumkannya gelar doktor (Dr) di depan namanya. Dia tidak salah memang, sebab dia berhak atas itu.Tetapi mungkin karena sudah terpengaruh dengan budaya Jepang, saya merasa jengah membaca email teman tersebut.
Suatu kali ada seorang penulis yang mengirimkan tulisan di media ilmiah yang saya asuh bersama teman-teman. Dalam tulisan tersebut, gelar doktor dicantumkannya. Saya menghapusnya dengan pertimbangan selama ini kami tidak menampilkan gelar dalam semua artikel yang kami muat. Ketika revisi kami kirimkan, kembali Pak Doktor menampilkan gelarnya. Dan saya harus menjalankan aturan majalah, gelarnya tidak kami cantumkan.
Pernah pula saya melakukan kilas-balik dan mengedit sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan balik kepada penulisnya dengan mengatakan alur berpikirnya tidak jelas, dan permasalahan yang diangkat tidak jelas dipaparkan di bagian pendahuluan. Mungkin tersinggung dengan komentar tersebut, si penulis membalas email saya dengan menambahkan semua gelar pada namanya. Saya baru tahu beliau profesor di sebuah universitas terkenal. Selanjutnya saya tidak berminat melakukan kilas-balik tulisan beliau.
Saya kadang-kadang malu menuliskan gelar akademis yang sudah saya miliki. Saya ingat ketika mengurus KTP di Indonesia, formulir isian menuntut penulisan gelar. Dan jadilah nama saya di KTP menjadi agak panjang dengan penambahan dua gelar di belakang, entahlah kalau tahun depan saya mengurus KTP lagi di Indonesia, nama saya akan bertambah panjang.
Saya tidak bisa pulang segera di bulan Maret ini karena meskipun course doktor saya sudah dianggap tuntas, dua profesor tidak mau meneken kertas pengakuan bahwa saya berhak atas gelar doktor. Katanya, mereka sayang melepas saya jika belum benar-benar memeriksa bab per bab. Saya memasuki program baru di fakultas kami, EdD, yang lulusannya bukan bergelar PhD, tetapi DEd. Saya tak pernah berfikir bahwa keduanya berbeda sebab selama ini saya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mahasiwa program PhD lainnya. Dan saya tidak peduli dengan gelar apa yang akan diberikan nanti. Tetapi saya paling peduli ketika dua profesor mengatakan bahwa saya perlu mengikuti pemeriksaan disertasi agar disertasi saya selevel dengan disertasi program PhD. Sementara profesor utama saya sudah berancang-ancang meneken tanda kelulusan saya di bulan Maret, dengan alasan saya semestinya dipermudah karena program EdD adalah program untuk orang yang bekerja dan tidak bisa disepadankan dengan program PhD, dua orang profesor anggota komisi memanggil saya dan membeberkan alasan mengapa mereka meminta saya mengikuti proses pemeriksaan komisi selama kurang lebih 5-6 bulan.
Saya katakan kepada kedua profesor, bahwa saya tidak mengharapkan mendapatkan gelar itu jika memang disertasi dan penelitian saya tidak diakui 100% oleh dewan komisi dan diterima oleh rapat dosen di fakultas. Saya tidak mau dikategorikan sebagai orang yang punya penyakit, seperti ditulis oleh Ronald Dore dalam bukunya “Diploma Disease”, dan memang saya tidak mempunyai penyakit itu. Saya membutuhkannya karena terdesak kepentingan dan keharusan memilikinya jika hendak mengabdi kepada ibu pertiwi.
Sepulang dari haji, teman mengatakan bahwa gelar saya bertambah di depan. Saya malu, sebab saya yang tahu layak tidaknya gelar itu ditempelkan di depan nama saya. Kelak saya juga mungkin malu ketika gelar DEd mulai disematkan di belakang nama saya, sebab saya yang sangat tahu, layak tidaknya itu.
Saya ingin mencontoh guru-guru saya yang dengan ikhlas meneliti dan rela berkorban dana dan tenaga untuk memperjelas sesuatu yang belum jelas, untuk membuka sesuatu yang belum terbuka. Saya tahu ada beberapa guru saya di Indonesia yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berharga dan tak henti meneliti, pun tak menginginkan gelar itu, tetapi masyarakat menuntutnya untuk memakainya. Karena masyarakat lebih menghormati seseorang dengan melihat gelarnya dan bukan karyanya.
Memasangkan gelar di depan dan di belakang nama saya sebagai memaksa saya memakai baju yang saya kurang nyaman dengan warnanya. Ingin sekali saya melepaskannya segera!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar