Hampir semua SMA Negeri di Aichi melakukan wisuda pada hari yang sama yaitu tanggal 1 Maret. Dan kemarin, secara tak sengaja saya berkesempatan menghadiri wisuda SMA di Jepang yang selama 5 tahun berada di negeri matahari terbit ini saya belum pernah menyaksikannya.
Kemarin pagi saya sudah ada janji jam 10.00 untuk berkonsultasi dengan salah seorang sensei. Bukan konsultasi disertasi saya, tetapi lebih tepatnya saya menawarkan waktu kepada sensei kalau-kalau beliau perlu bantuan terjemahan atau belajar bahasa Indonesia sehubungan dengan rencana kunjungannya ke Indonesia pertengahan Maret nanti. Secara tak sengaja, sensei melihat ada kesibukan memasang gallery anak SMA di sebuah gedung di kampus, dan menurut salah seorang guru di sana, hari ini adalah hari wisuda SMA dan mereka memasang hasil karya anak-anak untuk dapat dinikmati oleh khalayak umum. Sensei yang dulunya pernah menjadi kepala sekolah di beberapa tempat itu mendadak sedih karena lupa dengan ritual yang dulu selalu diikutinya.
Lalu meluncurlah cerita tentang pelaksanaan wisuda yang sering menimbulkan kontroversi karena dalam penyelenggaraannya beberapa sekolah tidak mau mengibarkan bendera hinomaru dan menyanyikan lagu kimigayo. Secara kebetulan beberapa hari sebelumnya kami membahas sebuah buku kelam tentang nasib seorang kepala sekolah yang bunuh diri terkait kasus ini. Sensei terkesan menghalangi saya untuk membaca buku itu karena khawatir saya larut dalam kepelikan pendidikan di Jepang, tetapi beliau akhirnya meminjamkan buku tersebut dan berpesan baca chapter satu saja. Chapter belakangnya hanya berisi pengulangan saja. Saya belum sempat membaca chapter satu pun sebab Sensei sudah membacakannya minggu lalu dan menyimpulkan sendiri tentang tokoh utama yang ada di dalamnya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat ketika kami memutuskan untuk pergi melihat wisuda SMA afiliasi yang ada di kampus. Saya sudah terkena sindrom orang Jepang yang tidak bisa berjalan pelan-pelan. Tetapi Sensei ternyata sedang terkenang dengan masa-masa kuliahnya dulu, maka setiap tempat yang kami lewati dilengkapinya dengan cerita 40 tahunan yang lalu ketika beliau masih tingkat 1, tentang poster-poster yang dibentangkan mahasiswa memenuhi halaman fakultas art & literature. Alhasil, karena Sensei berjalan pelan-pelan, kami baru mencapai gerbang sekolah kurang lebih 15 menit kemudian. Padahal saya biasa menempuh jarak itu dalam waktu 5 menit, jika ada panggilan khusus dari pembimbing akademik untuk menemuinya di kantornya yang ada dalam gedung sekolah tsb. Sayangnya saya tak bertemu beliau sekarang. Kalau ada beliau, kami pastilah akan mendapatkan lampu hijau untuk ikut melihat wisuda.
Tidak ada kegiatan yang menyolok di sekolah ini. Dan seperti sudah kami duga, bendera hinomaru tak terkibar di gerbang sekolah. Menurut sensei, sekolah-sekolah milik universitas biasanya agak liberal. Belakangan kami tersadar bahwa kegiatan wisuda tidak dilakukan di sekolah tetapi kemungkinan besar di Toyoda Hall, aula kampus yang biasa dipakai untuk mewisuda mahasiswa. Maka bergegaslah kami ke sana.
Sudah hampir jam 11. Kami sudah putus asa, tapi untunglah ada beberapa lembaran kertas yang kelihatannya disediakan untuk tamu di atas meja registrasi. Sebuah berupa selembar kertas kuning, yang di dalamnya tertera informasi tentang wisuda ke 58, susunan acara, teks lagu kimigayo, hymne sekolah, dan Hotaru no hikari. Sebuah lagi adalah pamflet galeri. Lalu celingak celinguk berharap ada yang keluar dari ruang besar aula untuk bisa dimintai ijin, agar kami diselundupkan ke dalam. Beruntunglah seorang bapak guru keluar, dan kami dipersilahkan dengan sangat masuk. Barangkali karena kedudukan sensei sebagai pengajar di kampus
Di dalam aula suasana senyap, yang terdengar hanya suara dekan fakultas pendidikan yang sedang memberikan sambutan. Saya berjingkat naik ke lantai dua, dan ada dua tempat duduk kosong, lalu kami duduk mengikuti acara. Seperti biasa saya sibuk menggambar lay out ruangan dan memberikan keterangan siapa saja yang duduk di depan dan bagaimana kedudukan mereka. Sebenarnya saya membawa HP, tapi tak mungkin menggunakannya untuk memotret karena suara shutternya terlalu kentara. Pastilah semua akan menoleh ke tempat dudukku kalau saya nekat menyalakannya. Ternyata saya sehati dengan sensei. Beliau juga sibuk menggambar, dan tentu saja gambarnya lebih bagus.
Di dinding tengah ada screen besar. Di sebelah kanan screen ada papan tulis ditempeli tulisan yang menurut Sensei itu adalah susunan acara. Saya ragu, sebab bentuk penulisannya kelihatannya berbeda, dan saya tak bisa melihatnya jelas dari tempat duduk. Di sebelah kanan screen terpasang bendera sekolah yang diletakkan tidak dalam posisi tegak, tetapi agak miring.Di sebelah kiri ada 4 kursi, yang diduduki oleh perwakilan-perwakilan universitas, ada tiga orang termasuk dekan fakultas, dan satu lagi ketua PTA. Tak jauh dari tempat duduk para pejabat, diletakkan sebuah piano yang di sampingnya diletakkan rangkaian bunga yang besar sekali. Di bagian kanan duduklah tiga deretan pemuka-pemuka sekolah. Kepala Sekolah dan wakilnya duduk terdepan. Lalu di belakangnya 6 orang wali kelas tiga yang duduk dalam dua shaf. Di tengah ruangan ada podium. MC berdiri di bagian kanan berdekatan dengan para wali kelas. Tidak ada bendera hinomaru.
Susunan acara pada hari itu adalah :
1. Pembukaan
2. Menyanyikan lagu Kimigayo
3. Penyerahan ijazah
4. Sambutan Kepsek
5.Sambutan Wakil Rektor
6. Sambutan Dekan Fakultas Pendidikan
7. Sambutan Ketua PTA
Pembacaan pesan dari kepsek sebelumnya atau guru yang sudah pensiun
8.Sambutan dari Adik Kelas
9.Sambutan dan pesan-pesan dari lulusan (dalam bentuk video)
10. Pengumuman nama-nama siswa terbaik (ada 19 orang)
11. Lagu perpisahan Hotaro no hikari (Auld Lang Syne)
12. Lagu hymne Sekolah
13. Penutup
1. Pembukaan
2. Menyanyikan lagu Kimigayo
3. Penyerahan ijazah
4. Sambutan Kepsek
5.Sambutan Wakil Rektor
6. Sambutan Dekan Fakultas Pendidikan
7. Sambutan Ketua PTA
Pembacaan pesan dari kepsek sebelumnya atau guru yang sudah pensiun
8.Sambutan dari Adik Kelas
9.Sambutan dan pesan-pesan dari lulusan (dalam bentuk video)
10. Pengumuman nama-nama siswa terbaik (ada 19 orang)
11. Lagu perpisahan Hotaro no hikari (Auld Lang Syne)
12. Lagu hymne Sekolah
13. Penutup
Secara umum, menurut Sensei acara wisuda ini lebih panjang daripada yang biasanya dilakukan di sekolah-sekolah umum, yaitu sejam saja. Lalu, ada hal yang mengusik yaitu tampilan video yang menggambarkan keceriaan anak-anak kelas 3 mengikuti acara ekskul, jalan-jalan, dll. Tampilan ini agak merusak formalitas upacara. Kami merasa ada baiknya tampilan itu dikebelakangkan, dan acara formal wisuda berjalan dengan tertib. Barangkali pihak sekolah ingin menggabungkan acara wisuda dengan acara farewell sekalian
Sayangnya acara nomor 2 terlewatkan, padahal saya ingin sekali melihat bagaimana anak-anak itu menyanyikan lagu kimigayo. Menurut Sensei, beberapa kepala sekolah di Jepang seperti yang digambarkan di dalam buku yang dipinjamkannya, menolak untuk mengibarkan hinomaru dan menyanyikan lagu kimigayo. Karena kedua benda keramat ini erat terkait dengan perang yang sangat mengagung-agungkan kaisar, maka kelompok tertentu bertekad tidak mau menghormatinya.
Di prefektur Aichi hampir semua sekolah negeri menjalankan tradisi formal, yaitu memasang bendera hinomaru di halaman sekolah, berikut memasangnya saat wisuda dan menyanyikan lagu kimigayo. Perjuangan untuk menyeragamkan ini telah dimulai oleh kepala sekolah di Aichi pada tahun 70-an melalui sebuah perdebatan panjang. Menurut Sensei, beruntunglah ini telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulunya, kalau tidak barangkali sekolah-sekolah di Aichi akan terus bertengkar memperdebatkan hal ini sebagaimana terjadi di Osakan dan beberapa provinsi yang lain. Ada dua prefektur yang menurut sensei sangat patuh dan keras dalam menjalankan administrasi pendidikan sesuai ketetapan negara, yaitu Aichi dan Chiba. Prefektur lain tergolong liberal. Saya sebenarnya tertarik sekali mendalami fakta ini, bahwa ada prefektur yang sangat yes mandan ada daerah yang sangat merdeka dalam kebijakan pendidikannya. Tentunya ini terkait dengan masalah anutan politik kepartaian guru-guru di wilayah bersangkutan.
Demikianlah, jika bendera dan lagu kebangsaan menjadi barang keramat di beberapa negara, maka di Jepang, karena adanya latar belakang sejarah yang menyakitkan di baliknya, beberapa pihak masih menolak kekeramatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar